Pajak, Plat, dan Ekologi: Logika Eksternalitas di Balik Kebijakan Gubernur Bobby
Aktivis dan peneliti; Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, IPB University.
SAYA
lahir dan besar di Medan. Sejak kecil, jalan lintas Medan-Binjai-Langkat adalah pemandangan harian saya: berderet truk-truk besar, banyak di antaranya berplat BL dari Aceh.
Setiap tahun, kondisi jalan itu kian memburuk, aspal mengelupas, lubang di mana-mana, dan debu makin tebal.
Saya tidak menulis ini karena pro pada Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution. Saya menulis sebagai warga Sumut yang melihat ketimpangan logika fiskal di jalanan sendiri.
Kendaraan yang menimbulkan kerusakan dan polusi di wilayah ini justru membayar pajaknya ke provinsi lain.
Bagi saya, ini bukan soal plat atau sentimen daerah. Ini soal tanggung jawab eksternalitas. Setiap aktivitas ekonomi, terutama yang menggunakan infrastruktur publik dan menghasilkan dampak lingkungan, semestinya menyumbang kembali kepada wilayah yang menanggung akibatnya. Dalam hal ini, Sumatera Utara.
Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) menegaskan bahwa kendaraan bermotor wajib didaftarkan di wilayah provinsi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, Pasal 9 menjelaskan bahwa dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) mencakup faktor kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor.
Ketentuan ini mengandung filosofi bahwa PKB bukan sekadar pajak atas kepemilikan, tetapi juga mekanisme fiskal untuk menginternalisasi dampak ekologis dari aktivitas transportasi.
Lebih lanjut, Pasal 10 ayat (4) menegaskan bahwa kepemilikan kendaraan bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan (NIK), dan/atau alamat yang sama.
Dengan demikian, lokasi pendaftaran dan pemungutan pajak ditentukan oleh alamat administratif pemilik kendaraan.
Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah memperkuat hubungan antara aspek fiskal dan lingkungan.
Pasal 5 ayat (1) menegaskan bahwa dasar pengenaan PKB merupakan hasil perkalian antara nilai jual kendaraan bermotor dan bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor.
Klausul ini menjadi bukti yuridis bahwa beban ekologis (kerusakan jalan dan polusi) sudah diinternalisasi dalam struktur pajak kendaraan itu sendiri.
Artinya, PKB secara konseptual memang dirancang untuk menanggung sebagian dari eksternalitas negatif akibat aktivitas kendaraan di wilayah tertentu.
Dengan pemahaman itu, bila kendaraan berplat Aceh (BL) terdaftar di Aceh, tetapi beroperasi di Sumatera Utara, maka pajaknya tetap disetor ke kas Pemerintah Provinsi Aceh.
Sumatera Utara tidak memperoleh bagian dari PKB tersebut, meskipun jalan dan lingkungannya menanggung beban eksternalitas negatif berupa kerusakan, polusi, dan kemacetan.
Dengan kata lain, Sumatera Utara hanya menerima dampak ekologis tanpa kompensasi fiskal.
Saya menduga, inilah logika yang melandasi kebijakan Gubernur Bobby untuk menertibkan kendaraan plat luar daerah.
Kebijakan ini bukan sekadar penegakan administrasi, melainkan bagian dari upaya menyeimbangkan antara kewajiban fiskal dan tanggung jawab ekologis atas aktivitas ekonomi lintas wilayah.
Konsep eksternalitas pertama kali diperkenalkan oleh Arthur C. Pigou (1920) dalam
The Economics of Welfare
.
Pigou menjelaskan bahwa setiap aktivitas ekonomi menimbulkan dampak sosial di luar harga pasar, baik berupa manfaat maupun kerugian.
Untuk mengoreksinya, pemerintah perlu mengenakan pajak korektif (
Pigouvian tax
) agar pelaku ekonomi menanggung biaya sosial yang ditimbulkannya.
Pandangan ini diperkuat oleh Musgrave dan Musgrave (1989) yang menegaskan bahwa fungsi pajak publik adalah mengoreksi kegagalan pasar akibat eksternalitas.
Joseph Stiglitz (2000) menambahkan bahwa eksternalitas negatif seperti polusi atau kerusakan jalan menuntut kebijakan fiskal yang mampu menginternalisasi biaya sosial, sehingga tidak dibebankan kepada masyarakat luas.
Dalam konteks Indonesia, Fauzi (2006) menjelaskan bahwa eksternalitas merupakan dampak dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain tanpa mekanisme kompensasi.
Eksternalitas negatif terjadi ketika aktivitas seseorang menimbulkan kerugian bagi pihak lain tanpa pembayaran balik, sehingga menimbulkan inefisiensi alokasi sumber daya.
Bila teori tersebut diterapkan, maka kerusakan jalan dan pencemaran akibat kendaraan berat berplat BL di Sumatera Utara adalah bentuk nyata eksternalitas negatif.
Biaya sosialnya ditanggung oleh masyarakat Sumut, sedangkan penerimaan pajaknya justru dinikmati oleh daerah lain.
Inilah yang tampaknya menjadi dasar kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Penertiban kendaraan plat luar bukan tindakan emosional, melainkan upaya mengoreksi ketimpangan fiskal dan ekologis yang sudah lama terjadi.
Tujuannya adalah menyamakan lokasi pemungutan pajak dengan lokasi timbulnya dampak, terutama bagi kendaraan yang beroperasi penuh di Sumut.
Langkah ini juga tidak sepenuhnya represif. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara memberikan insentif penghapusan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) bagi perusahaan yang bersedia memindahkan pendaftaran armadanya ke Sumut.
Artinya, kebijakan ini bukan menambah pajak baru, melainkan menata ulang domisili fiskal agar sejalan dengan domisili aktivitas ekonomi.
Kebijakan seperti ini bukan hal baru di Indonesia. Di Jawa Barat, Gubernur Dedi Mulyadi memberikan pembebasan PKB dan BBNKB bagi kendaraan mutasi dari luar daerah ke Jabar, agar pajak kendaraan yang beroperasi di wilayah Jabar masuk ke kas daerah.
Di Banten, Gubernur Andra Soni menetapkan pembebasan pokok PKB bagi kendaraan mutasi dari luar provinsi, untuk mendorong armada operasional perusahaan di wilayahnya mengganti plat luar dan menyumbang PAD provinsi.
Kedua contoh tersebut menunjukkan bahwa langkah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara memiliki preseden administratif di provinsi lain, meskipun dengan pendekatan berbeda.
Di daerah lain berbasis insentif, sedangkan di Sumut dilakukan melalui penertiban dan imbauan tegas.
Pada konteks ini, kebijakan tersebut juga berfungsi sebagai upaya mendorong, menertibkan, sekaligus menyadarkan para pengusaha asal Aceh yang beroperasi di Sumatera Utara agar menunaikan kompensasi fiskal atas biaya eksternalitas di wilayah operasinya.
Prinsipnya sederhana: siapa pun yang memanfaatkan infrastruktur publik dan menimbulkan dampak sosial-ekologis di suatu wilayah, wajib berkontribusi pada pembiayaan publik di wilayah tersebut.
Dari sisi teori eksternalitas, kebijakan ini merupakan bentuk internalisasi spasial, yaitu memastikan biaya sosial dibayar di tempat dampak muncul.
Manfaatnya ada tiga: efisiensi fiskal, karena penerimaan daerah sejalan dengan beban publik yang ditanggung; keadilan ekologis, karena daerah yang menanggung kerusakan memperoleh kompensasi yang layak; dan disiplin pasar, karena pelaku usaha akan memperhitungkan biaya lingkungan dalam keputusan bisnisnya.
Sebagai warga Medan, saya melihat kebijakan ini bukan sebagai konflik antarprovinsi, melainkan sebagai upaya memperbaiki tata kelola pajak daerah yang selama ini salah alamat.
Jalan yang rusak tidak peduli plat mana yang melintas, tetapi rakyat yang melintas setiap hari menanggung akibatnya.
Sumatera Utara membutuhkan keadilan fiskal. Dan keadilan itu bermula dari kesadaran sederhana: siapa pun yang memanfaatkan infrastruktur publik untuk kegiatan ekonominya, harus menanggung biaya sosial di tempat ia menimbulkan dampak.
Jadi, ketika Gubernur Sumatera Utara menertibkan kendaraan plat luar, sesungguhnya ia sedang menyuarakan prinsip yang jauh lebih universal dari sekadar otonomi daerah, yaitu keadilan ekologis dalam perpajakan.
Pajak seharusnya mengikuti dampak, bukan sekadar mengikuti alamat di STNK.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Pajak, Plat, dan Ekologi: Logika Eksternalitas di Balik Kebijakan Gubernur Bobby Regional 7 Oktober 2025
/data/photo/2025/06/04/683fe15144d0c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)