Hutan Adat: Benteng Terakhir Hak Masyarakat dan Iklim Dunia Regional 26 September 2025

Hutan Adat: Benteng Terakhir Hak Masyarakat dan Iklim Dunia
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        26 September 2025

Hutan Adat: Benteng Terakhir Hak Masyarakat dan Iklim Dunia
Tim Redaksi
JAMBI, KOMPAS.com –
M Safar merasa lega setelah pemerintah mengesahkan kelembagaan masyarakat hukum adat (MHA) di Kecamatan Batangasai, Kabupaten Sarolangun, Jambi.
Hutan adat yang Safar usulkan ke pemerintah melindungi sumber mata air untuk pertanian dan sempat terancam aktivitas penambangan emas ilegal.
“Alhamdulillah, masyarakat hukum adat kami sudah disahkan pemerintah,” kata Safar, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Adat (LPHA) Telun Sakti Desa Raden Anom, Batang Asai, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (25/9/2025).
Dengan pengesahan MHA ini, kata dia, membuka tahapan verifikasi teknis dan selangkah lagi hutan adat kami mendapatkan pengakuan dari Kementerian Kehutanan.
Selama ini, ia telah mengelola dan menjaga hutan adat dengan berpatroli rutin, agar terhindar dari tindakan ilegal perusak hutan.
“Hutan kami warisan nenek moyang, sejak sebelum kami lahir. Tapi kami menjaganya sampai sekarang,” kata dia.
Hutan adat bukan hanya ruang hidup masyarakat adat, tetapi juga benteng terakhir dalam melawan krisis iklim, melindungi sumber air, dan mencegah bencana banjir maupun longsor.
Hutan juga menjadi tempat mencari pangan, obat-obatan, kayu untuk kebutuhan rumah tangga, serta sarana adat.
“Hutan adat adalah ruang budaya, tempat nilai dan tradisi dijaga serta diwariskan ke anak-cucu,” katanya.
Selain itu, sejumlah jenis kayu penting yang masuk daftar perlindungan IUCN tumbuh di kawasan ini, antara lain medang tunjang, damar hitam, damar putih, kasai gunung, sapek, kayu citos, meranti, bengkirai, kampat, hingga keruing.
Sayangnya, dari 20 hutan adat yang telah lahir, baru 11 yang mendapatkan pengakuan resmi melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Masih ada sembilan hutan adat yang menunggu proses verifikasi teknis dari Kementerian Kehutanan.
Kesembilan hutan adat tersebut berada di empat wilayah, yaitu MHA Marga Datuk Nan Tigo, MHA Marga Batang Asai, MHA Marga Sungai Pinang, dan MHA Bathin Jo Penghulu Marga Bukit Bulan.
Dari jumlah itu, enam calon hutan adat berada di wilayah MHA Bathin Jo Penghulu Marga Bukit Bulan.
Upaya pengakuan dan perlindungan hutan ini terus diupayakan.
Terkait dengan itu, Komintas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi berkolaborasi dengan Pemkab Sarolangun untuk memperkuat kelembagaan MHA.
“Mari kita pastikan proses ini tidak berhenti di atas kertas, tetapi diimplementasi di lapangan. Sehingga pengakuan ini manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat adat,” kata Bupati Sarolangun, M Hurmin lewat keterangan tertulis.
Untuk memudahkan MHA menjaga hutan, pemerintah Sarolangun telah memiliki Peraturan Daerah No 3 tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan MHA.
Perda ini merupakan terobosan baru dalam percepatan pengakuan MHA di Provinsi Jambi, kata bupati.
Dengan adanya perda ini, pengakuan MHA menjadi lebih terkelola dan sekaligus syarat mutlak pengusulan dan pengajuan Hutan Adat.
“Ketika hutan adat hilang, bukan hanya masyarakat adat yang kehilangan ruang hidup, tetapi juga dunia kehilangan salah satu benteng untuk menahan laju perubahan iklim,” ujar Adi Junedi, Direktur KKI Warsi lewat rilis tertulis.
Dikatakan Adi, berdasarkan pengalaman selama melakukan pendampingan, masyarakat adat di Sarolangun memiliki sistem pengelolaan hutan yang arif dan ketat.
Ia mencontohkan, di wilayah MHA Marga Bathin Jo Penghulu Marga Bukit Bulan, terdapat tiga jenis zonasi hutan adat, yaitu: Imbo Larangan, kawasan hutan yang sama sekali tidak boleh diambil hasilnya agar fungsi sumber air tetap terjaga.
Kemudian Imbo Pseko, hutan pusaka yang dapat dimanfaatkan terbatas sesuai aturan adat.
Terakhir, Imbo Lembago, hutan lembaga yang juga hanya bisa dimanfaatkan terbatas dengan ketentuan hukum adat.
“Aturan adat ini terbukti mampu menjaga keseimbangan ekologi selama ratusan tahun,” kata Adi.
Krisis iklim kini menjadi tantangan nyata yang dirasakan seluruh dunia. Banjir, longsor, kekeringan, hingga suhu ekstrem semakin sering terjadi.
Dalam konteks ini, menjaga hutan adat berarti menjaga keseimbangan iklim.
Hutan adat menyimpan karbon, mengatur tata air, serta menyediakan udara bersih yang manfaatnya tidak hanya dirasakan masyarakat adat, tetapi juga seluruh umat manusia.
Oleh karena itu, Kementerian Kehutanan direncanakan akan melakukan verifikasi teknis di sembilan hutan adat yang berada di empat MHA yang telah disahkan oleh Bupati Sarolangun.
“Menjaga hutan adat berarti menjaga kehidupan. Hari ini kita bicara Sarolangun, tapi sesungguhnya yang kita jaga adalah masa depan bumi,” ujar Adi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.