Biaya Keracunan MBG yang Tak Terlihat
Saya adalah seorang dokter dengan latar belakang pendidikan manajemen rumah sakit, serta pernah menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) sebelum memutuskan keluar karena menyaksikan langsung dinamika perundungan dan ketidakadilan. Sebagai aktivis sosial dan kritikus, saya berkomitmen untuk mendorong reformasi dalam pendidikan kedokteran dan sistem manajemen rumah sakit di Indonesia. Pengalaman saya dalam manajemen rumah sakit memberikan wawasan mendalam tentang pentingnya sistem yang berfungsi baik, bukan hanya dalam aspek klinis, tetapi juga dalam melindungi kesejahteraan tenaga kesehatan.
PROGRAM
Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah gagasan mulia. Dengan menyediakan makanan sehat di sekolah, negara ingin memastikan anak-anak tidak belajar dalam keadaan lapar.
Namun di balik niat baik itu, data yang kini muncul justru mengusik, lebih dari 5.000 anak dilaporkan mengalami keracunan, dengan angka tertinggi di Jawa Barat. Bahkan, laporan masyarakat menyatakan jumlahnya lebih dari 6.000 kasus.
Di balik setiap angka ada wajah anak yang muntah, demam, hingga terbaring di rumah sakit. Diagnosis terbanyak diare akut dengan dehidrasi, penyakit klasik akibat pangan tidak aman.
Bagi dokter, kasus ini adalah kasus rutin. Namun, bayangkan bagi orangtua, kepanikan saat anak tiba-tiba sakit massal di sekolah, antrean panjang di IGD, dan rasa cemas karena yang seharusnya jadi sumber gizi justru berubah jadi sumber penyakit.
Pemerintah menyebut penyebab utamanya adalah dapur yang tidak higienis, makanan yang terlalu lama dibiarkan di suhu ruang, distribusi tanpa kontrol, dan kontaminasi silang dari petugas dapur.
Hal-hal yang seharusnya bisa dicegah dengan disiplin sederhana seperti mencuci tangan, memisahkan bahan mentah dan matang, menjaga suhu di atas 60 derajat celcius atau di bawah 5 derajat celcius, serta tidak membiarkan makanan berada di meja lebih dari dua jam.
Di rumah sakit, prinsip ini sudah jadi standar baku. Instalasi gizi punya aturan ketat, bahan harus datang dari pemasok terverifikasi, penyimpanan dingin dicatat suhunya, dan setiap menu diberi
time stamp
kapan dimasak dan kapan harus habis.
Mengapa? Karena begitu standar ini dilanggar, peluang timbulnya penyakit melonjak. Dan ketika ribuan porsi disiapkan setiap hari, satu kelengahan kecil bisa menjelma ribuan kasus.
Keracunan massal bukan hanya soal kesehatan, tapi juga soal biaya. WHO dan Bank Dunia mencatat, penyakit akibat pangan tak aman di negara berkembang menelan sekitar 110 miliar dollar AS per tahun. Indonesia tentu menjadi bagian dari angka besar itu.
Mari tarik ke contoh nyata. Tarif kelompok INA-CBG (sistem pembayaran yang dipakai rumah sakit) menunjukkan bahwa perawatan diare akut bisa menelan biaya lebih dari Rp 1 juta per pasien. Bila disertai dehidrasi berat biayanya mendekati Rp 2 juta.
Itu baru satu anak. Bagaimana jika dalam satu klaster ada ratusan korban yang perlu rawat jalan atau rawat inap?
Beban ini jatuh ke puskesmas, rumah sakit, asuransi, atau langsung ke kas negara bila ditanggung pemerintah.
Dan jangan lupa, setiap tenaga medis yang mengurus pasien keracunan massal berarti mengalihkan waktu dan energi dari pasien lain yang sama-sama membutuhkan.
Uang mungkin bisa diganti, tapi ada biaya sosial yang tidak tercatat di laporan resmi. Hilangnya jam belajar, kecemasan orangtua, dan rusaknya kepercayaan terhadap program publik yang sebenarnya sangat dibutuhkan.
Masyarakat akhirnya bertanya-tanya, “jika makanan sekolah saja tidak aman, bagaimana bisa negara berbicara tentang membangun generasi unggul?”
Solusinya bukan hal baru. Permenkes 1096/2011 telah mewajibkan setiap penyedia makanan memiliki Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS), petugas dapur yang sehat dan terlatih, serta pengawasan berkala.
WHO sejak lama mengajarkan lima kunci sederhana: jaga kebersihan, pisahkan mentah dan matang, masak hingga matang, simpan pada suhu aman, gunakan air dan bahan baku yang bersih.
Ini semua adalah hal paling mendasar. Mengapa untuk anak-anak sekolah, standar itu tiba-tiba boleh ditawar?
MBG adalah program yang diperlukan masyarakat, khususnya masyarakat yang kesulitan mengakses pangan bergizi.
Namun, program mulia tidak akan memberikan hasil sesuai harapan bila dioperasikan dengan standar seadanya.
Ribuan kasus keracunan adalah bukti mahal bahwa kesehatan publik tidak pernah gratis. Jika standar tidak ditegakkan, maka negara membayar lewat biaya pengobatan, tenaga medis yang kewalahan, anak-anak yang kehilangan hari belajar, dan orangtua yang kehilangan rasa percaya.
Menegakkan standar keamanan pangan bukan beban tambahan, melainkan cara paling murah dan paling cerdas untuk memastikan makan bergizi benar-benar menghadirkan kesehatan, bukan penyakit.
Karena pertahanan bangsa ini dimulai dari anak-anak yang sehat, bukan dari angka klaim rumah sakit akibat keracunan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
5 Biaya Keracunan MBG yang Tak Terlihat Nasional
/data/photo/2025/08/28/68afae0c92a9c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)