8 Di Mana Silfester Matutina? Pertanyaan untuk Hukum Indonesia Nasional

8
                    
                        Di Mana Silfester Matutina? Pertanyaan untuk Hukum Indonesia
                        Nasional

Di Mana Silfester Matutina? Pertanyaan untuk Hukum Indonesia
Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com – Instagram: @ikhsan_tualeka
NAMA
Silfester Matutina pernah berulang kali menghiasi layar televisi atau pemberitaan media. Sosoknya tampil penuh percaya diri, dengan suara lantang dan tubuh tegap, seolah tak ada yang bisa menggoyahkan.
Ia dikenal sebagai pembela paling keras Joko Widodo dan keluarganya. Siapa pun yang berseberangan atau berani mengkritik, tak jarang langsung dihadapinya dengan kata-kata pedas.
Dalam berbagai forum, Silfester kerap hadir bak gladiator. Ia menantang lawan debatnya, bahkan figur-figur besar, tanpa gentar.
Pernah, ia tak segan melontarkan tantangan keras kepada mantan Danjen Kopassus, Mayjen TNI (Purn) Sunarko.
Pada saat itu, publik melihatnya sebagai pribadi yang berani menghadapi siapa saja, demi mempertahankan sikap politiknya.
Namun, panggung yang dibangunnya runtuh seketika. Begitu status hukumnya sebagai terpidana dalam kasus fitnah ke Jusuf Kalla terbuka ke publik, semua kegarangan itu lenyap tak tersisa.
Vonis 1,5 tahun penjara untuknya sudah berkekuatan hukum tetap. Namun, eksekusi oleh kejaksaan belum dilakukan.
Silfester hanya sempat tampil sejenak, mengumumkan bahwa ia telah bertemu dan berdamai dengan JK. Klaim itu sontak menjadi sorotan. Jubir dan putri JK segera mengklarifikasi, menegaskan pertemuan itu tidak pernah terjadi.
Sejak saat itu, Silfester seakan menghilang. Nama yang sebelumnya begitu bising tiba-tiba tenggelam dalam diam dan entah kemana.
Fenomena ini tentu bisa dibaca sebagai drama personal: kisah tentang seseorang yang hidup dalam sorotan dan publikasi, kemudian hilang ketika sorotan itu berubah menjadi sorotan hukum.
Namun, jika kita berhenti pada narasi personal, kita kehilangan inti persoalannya. Sebab menghilangnya Silfester bukan semata-mata soal seorang pengacara yang tersandung masalah.
Ini menyentuh pertanyaan lebih mendasar, yaitu tentang integritas penegakan hukum di negeri ini, tentang moralitas profesi hukum, dan tentang bagaimana loyalitas politik sering kali dipertaruhkan dengan cara yang justru merugikan.
Profesi advokat sering disebut sebagai
officium nobile,
jabatan mulia. Ia menuntut para pemegangnya untuk menjaga kehormatan, bukan hanya ketika membela klien, tetapi juga ketika dirinya sendiri berhadapan dengan hukum.
Di sinilah sesungguhnya Silfester diuji. Jika ia benar seorang advokat, semestinya ia tahu bahwa taat pada hukum adalah dasar pertama.
Bagaimana mungkin seorang pengacara yang mengajarkan orang lain untuk menghormati proses hukum justru memilih menghindar ketika satu kasus menyentuh dirinya?
Menghilang atau lari dari kewajiban menjalani putusan hukum sama saja dengan menampar wajah profesinya sendiri.
Namun, persoalan ini tidak berhenti pada aspek personal. Mengingat posisi Silfester sebagai salah satu loyalis paling vokal Jokowi, hilangnya ia dari panggung publik ikut memberi efek politik.
Publik mudah menarik kesimpulan: jika orang terdekat saja lari dari hukum, bagaimana citra orang yang dibelanya? Loyalitas yang semula ingin ditunjukkan sebagai kesetiaan total justru bisa berubah menjadi beban dan insentif negatif.
Bagi publik, citra seorang pemimpin juga ditentukan oleh perilaku para loyalis atau orang-orang di sekelilingnya. Di sinilah letak bahayanya.
Sebab dalam demokrasi, pemimpin tidak hanya diuji oleh tindakannya sendiri, tetapi juga oleh bagaimana lingkaran terdekatnya dalam bersikap dan memperlakukan hukum.
Loyalitas personal yang buta justru seringkali menjebak pemimpin dalam citra buruk. Dan citra buruk itu tidak lahir dari fitnah, melainkan dari kelakuan nyata para pendukung atau loyalisnya itu.
Lebih jauh lagi, hilang atau menghilangnya Silfester mengingatkan kita pada satu hal penting: integritas itu selalu atau akan diuji dalam saat genting.
Pada saat orang tak punya pilihan lain kecuali menghadapi kenyataan, barulah kita bisa menilai siapa yang betul-betul berjiwa ksatria atau sesungguhnya adalah seorang pecundang.
Orang boleh keras di luar, boleh gagah di depan kamera, tetapi semuanya tak ada artinya bila ia lembek, bahkan kabur atau bersembunyi ketika hukum mengetuk pintu rumahnya.
Indonesia sudah terlalu sering melihat tokoh publik yang lantang bersuara, tetapi kemudian bungkam atau tak menampakkan diri ketika terseret kasus.
Publik pun makin sinis dan gamang. Kata “integritas” yang dulu diagungkan kini terasa kehilangan bobotnya atau marwahnya.
Bagaimana orang bisa percaya pada penegakan hukum kalau orang-orang yang mengaku penjaga hukum justru mangkir dan melarikan diri eksekusi hukum atau mungkin sengaja dibiarkan.
Karena itu, kasus Silfester semestinya tidak dilihat sebatas gosip keberadaannya yang misterius. Negara punya kewajiban menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Tidak boleh ada kesan bahwa seseorang bisa hilang begitu saja hanya karena ia punya koneksi politik. Sebaliknya, hukum hanya akan dihormati jika ia ditegakkan dengan adil dan konsisten terhadap semua orang.
Pertanyaan “di mana Silfester Matutina?” memang bisa dimaknai sebagai pencarian fisik—apakah ia bersembunyi, apakah ia kabur ke luar negeri, atau apakah ia diam-diam masih berada di Jakarta.
Namun, pertanyaan itu lebih dalam daripada sekadar lokasi. Ia menyentuh soal keberanian moral: apakah seseorang memilih menghadapi konsekuensi dari tindakannya, atau memilih selamanya menjadi simbol kegagahan yang hancur oleh inkonsistensi.
Dalam jangka panjang, publik mungkin akan melupakan nama Silfester. Namun, ingatan kolektif kita tentang integritas hukum tidak boleh dilupakan.
Hukum yang dibiarkan kalah oleh panggung retorika dan drama politik hanya akan meninggalkan luka lebih besar, yaitu hilangnya kepercayaan rakyat.
Dan ketika rakyat kehilangan kepercayaan, demokrasi tentu saja menjadi kehilangan rohnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.