10 Pemimpin yang Terisolasi dari Kabar Rakyatnya Nasional

10
                    
                        Pemimpin yang Terisolasi dari Kabar Rakyatnya
                        Nasional

Pemimpin yang Terisolasi dari Kabar Rakyatnya
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

The great enemy of the truth is very often not the lie, but the myth, persistent, persuasive, and unrealistic.
” (John F. Kennedy)
SEORANG
presiden, siapa pun dia, bergantung pada informasi yang diterimanya setiap hari. Artinya, realitas masyarakat tidak terlihat secara langsung, tapi melalui laporan, ringkasan, atau bisikan lingkaran dalam seorang presiden.
Jika informasi yang diterima utuh, analisisnya tepat, maka keputusan bisa presisi. Namun, jika terdistorsi, negara bisa tergiring ke arah yang salah, bahkan berbahaya.
Akhir-akhir ini, terdapat kesan bahwa sebagian besar publik nampaknya merasa pemerintah agak terlambat merespons aspirasi warganya, sehingga dibutuhkan demonstrasi besar atau menunggu isu-isu tertentu viral terlebih dahulu.
Boleh jadi kesan ini tidak sepenuhnya tepat, tetapi beberapa bulan terakhir, muncul persepsi bahwa langkah Presiden Prabowo Subianto kerap tertinggal dari tuntutan masyarakat.
Ketika rakyat berharap kebijakan A, yang hadir justru kebijakan B, itu pun datang terlambat. Situasi ini menimbulkan kesan bahwa data dan fakta yang seharusnya menjadi fondasi keputusan tidak sepenuhnya tersaji di meja presiden. Akibatnya, kebijakan yang mestinya dapat diputuskan cepat dan tepat justru tersendat.
Pertanyaan yang tak terhindarkan muncul di benak publik, benarkah orang-orang di sekitar Presiden Prabowo menyampaikan informasi apa adanya?
Ataukah sebagian fakta ditutup-tutupi, dipoles, bahkan disisihkan demi menjaga kenyamanan politik?
Jika yang sampai ke meja Presiden hanyalah laporan yang sudah disaring, bagaimana mungkin keputusan pemerintah bisa selaras dengan aspirasi rakyat?
Tak peduli bagaimana teknis penyampaian informasi, atau dalam kondisi apa pun Presiden berada, ia seharusnya tetap memperoleh asupan informasi yang bergizi mengenai keadaan rakyatnya.
Pemerintahan bukanlah mesin yang boleh berhenti sejenak, melainkan institusi yang bekerja dua puluh empat jam tanpa jeda.
Karena itu, keterlambatan atau distorsi informasi tidak bisa ditoleransi. Terlambat atau tedistorsi sama saja dengan membiarkan keputusan diambil dalam ruang gelap, sementara rakyat menunggu keadilan yang seharusnya hadir tepat waktu.
Dalam tradisi administrasi publik, gagasan bahwa negara harus bekerja tanpa henti sudah lama ditekankan.
Woodrow Wilson (1887) dalam
The Study of Administration
menyebut pemerintahan sebagai “the most continuous of human concerns,” yang menegaskan bahwa urusan publik tidak pernah berhenti dan karenanya administrasi harus beroperasi secara konstan serta berkelanjutan.
James Madison dalam
Federalist Papers No. 37
(1788) menulis bahwa pemerintahan “must be adequate to the exigencies of the nation,” sebuah pengingat bahwa kebutuhan rakyat tidak mengenal batas waktu.
Kajian kontemporer juga menguatkan hal ini. Farazmand (2001) dalam H
andbook of Crisis and Emergency Management
memperkenalkan konsep pemerintahan sebagai institusi “24-hour emergency system”, di mana eksekutif harus siap mengambil keputusan kapan pun krisis datang.
OECD (2018) bahkan menyebut negara modern sebagai
always-on state,
pemerintahan yang tidak mengenal jeda karena kompleksitas global menuntut respons setiap saat.
Dari perspektif ini, tidak ada alasan teknis yang dapat membenarkan keterlambatan informasi di meja Presiden.
Pemerintahan adalah kerja dua puluh empat jam, tujuh hari sepekan. Setiap penyumbatan informasi sama saja dengan memutus denyut nadi negara.
Prinsip
the right man in the right place
harus berlaku mutlak. Untuk informasi yang urgen dan darurat, Presiden harus dapat mengandalkan lembaga yang memang berwenang, seperti Badan Intelijen Negara maupun lembaga strategis terkait intelijen lainnya.
Lembaga itupun dituntut menyajikan laporan yang utuh dan berdaging, bukan potongan kabar yang terdistorsi.
Dalam konteks ini, tidak boleh ada pihak yang tidak berkepentingan ikut mencampuri, apalagi mengambil alih peran di luar tugas pokok dan fungsinya.
Hirarki eksekutif harus dihormati agar informasi yang sampai ke Presiden benar-benar murni, tepat waktu, dan relevan dengan kebutuhan negara.
Jangan sampai kedekatan personal dijadikan alasan untuk melangkahi kewenangan institusi yang sah.
Literatur ilmu politik modern menekankan pentingnya
institutionalization of power
(Huntington, 1968), yaitu kekuasaan yang dijalankan harus melalui prosedur kelembagaan, bukan hubungan pribadi. Ketika jalur formal diabaikan, prinsip spesialisasi runtuh, dan muncullah nepotisme.
Robert Klitgaard (1988) dalam kajiannya tentang korupsi juga menegaskan bahwa ketika kewenangan bercampur dengan kedekatan personal, peluang penyalahgunaan menjadi lebih besar.
Itulah yang sering menyalakan kemarahan rakyat di banyak negara, dari Amerika Latin hingga Asia, karena publik menyaksikan negara dijalankan oleh jaringan kekerabatan dan loyalitas pribadi, bukan oleh kompetensi dan otoritas institusional.
Dalam literatur ekonomi politik, penyumbatan informasi sering dijelaskan lewat kerangka
bureaucratic politics model
(Allison & Zelikow, 1999).
Di sini, kebijakan tidak lahir dari satu komando tunggal, melainkan dari tarik menarik antar aktor birokrasi yang masing-masing membawa agenda.
Informasi yang akhirnya sampai ke Presiden bukanlah cermin murni kondisi lapangan, melainkan hasil tawar-menawar kepentingan.
Douglas North (1990) menyebut fenomena ini sebagai bukti rapuhnya institusi, aturan main negara dikalahkan oleh kalkulasi sempit aktor yang berkuasa atas aliran informasi.
Dalam kondisi seperti ini, keputusan publik rawan bias, bahkan salah arah, bukan karena Presiden tidak mau bertindak, melainkan karena bahan baku keputusan sudah terdistorsi sejak awal.
Risikonya tidak berhenti pada kemungkinan lahirnya keputusan yang keliru. Lebih dari itu, pemimpin dapat terjebak dalam ruang gema, merasa keadaan terkendali sementara masyarakat justru menanggung beban yang berat.
Situasi semacam ini membuat negara lamban merespons krisis, sekaligus menggerus kepercayaan publik yang melihat ketidaksetaraan antara pernyataan pemimpin dan pengalaman sehari-hari mereka.
Fenomena seperti ini sebenarnya sudah menjadi bagian integral politik pemerintahan. Sejarah pemerintahan modern memberi banyak bukti bagaimana pemimpin bisa terjebak dalam gelembung data.
Di Cina, penelitian King, Pan, & Roberts (2013) menunjukkan bagaimana sistem sensor dan kontrol arus informasi membuat pimpinan hanya menerima gambaran tertentu dari realitas sosial.
Kritik publik kerap disaring, sementara informasi yang menekankan stabilitas diperbesar. Akibatnya, pemimpin bisa merasa masyarakat terkendali, padahal di bawah permukaan ketidakpuasan terus menumpuk.
Hal itu terlihat di Nepal baru-baru ini. Perdana Menteri Khadga Prasad Sharma Oli menerima pasokan informasi yang terbatas mengenai keresahan rakyat atas kondisi ekonomi dan praktik korupsi. Lingkaran dalam yang sarat nepotisme justru menutupi gejolak publik.
Akibatnya, Sharma tidak sepenuhnya mengetahui kemarahan masyarakat, terutama generasi muda yang resah menatap masa depan, sementara para pejabat dan keluarganya justru memamerkan kemewahan di berbagai media sosial.
Alih-alih memperbaiki ekonomi dan menertibkan perilaku pejabatnya, pemerintah justru memilih menutup 26 platform media sosial. Alasannya untuk mengatasi hoaks, ujaran kebencian, dan penipuan daring.
Namun, langkah itu diambil karena Sharma diyakinkan bahwa sumber kegaduhan publik adalah maraknya berita palsu, bukan krisis nyata yang dirasakan rakyat.
Kebijakan itu berbalik arah. Generasi muda, yang kehidupannya lekat dengan dunia digital, turun ke jalan dan mengepung rumah para pejabat, termasuk kediaman perdana menteri.
Salah informasi berujung pada salah langkah, dan salah langkah berakhir pada perlawanan rakyat.
Di Myanmar, sejak kudeta militer 2021, Human Rights Watch (2022) mencatat bagaimana junta berusaha mengendalikan aliran informasi baik ke publik maupun ke pucuk pimpinan.
Laporan tentang krisis ekonomi dan protes sosial disaring ketat. Hasilnya, kebijakan rezim kerap terputus dari realitas dan memperparah krisis politik.
Contoh lain datang dari Sri Lanka. Menurut International Crisis Group (2022), lingkaran keluarga Rajapaksa menutup-nutupi data fiskal dari Presiden Gotabaya Rajapaksa. Krisis devisa yang sebenarnya genting dipoles seolah terkendali.
Begitu cadangan menipis dan rakyat turun ke jalan menuntut pangan dan energi, Presiden pun kehilangan legitimasi.
Tak ada kesangsian, keterlambatan informasi berdampak langsung pada kebijakan.
Mari ambil contoh sederhana dari kasus jaminan sosial. Jika Presiden terlambat tahu ada pekerja informal meninggal karena kecelakaan kerja, misalnya, maka sinyal untuk memperbaiki sistem jaminan ketenagakerjaan juga ikut tertunda.
Padahal satu nyawa yang hilang bisa menjadi peringatan dini untuk menyelamatkan ribuan nyawa lain.
Dalam konteks politik, pemimpin yang terus-menerus disuguhi laporan manis akan berisiko kehilangan legitimasi.
Rakyat mudah menangkap ketidaksinkronan antara apa yang diucapkan pemimpin dengan apa yang mereka alami sehari-hari. Situasi semacam ini merupakan resep klasik bagi lahirnya krisis kepercayaan.
Pertanyaan pentingnya adalah mengapa lingkaran dalam cenderung menyaring informasi. Ada yang berangkat dari motif protektif, yaitu keinginan menjaga agar pemimpin tidak terlalu terbebani dengan kabar buruk.
Ada pula yang bermula dari motif politik, demi mengamankan posisi dengan menampilkan keadaan seolah terkendali.
Tidak jarang juga muncul motif ekonomi, ketika informasi berubah menjadi sumber rente yang hanya dapat diakses dan diolah oleh pihak tertentu.
Seluruh motif tersebut beroperasi dalam ruang yang sama, yakni ketiadaan mekanisme kontrol yang efektif.
Selama Presiden tidak memiliki kanal alternatif untuk mendengar suara rakyat secara langsung, lingkaran dalam akan tetap menjadi penyaring tunggal yang menentukan versi realitas apa yang sampai ke pucuk kekuasaan.
Menghadapi masalah sekompleks ini, langkah perbaikan sebaiknya ditempuh secara bertahap dan realistis.
Satu, meningkatkan transparansi atas data publik yang sudah tersedia, tanpa perlu membangun sistem baru yang rumit dan tanpa menambah personel yang tidak relevan.
Banyak kementerian dan lembaga sebenarnya telah mengumpulkan data penting, tetapi informasi itu masih tersebar dan tidak terintegrasi.
Tugas utama pemerintah adalah menyatukan data tersebut dalam sistem yang dapat diakses lintas lembaga, lalu memastikan ringkasannya sampai ke Presiden tanpa jeda.
Dua, memperkuat fungsi penasihat Presiden yang bersifat independen, bukan dengan membentuk lembaga baru, melainkan dengan mengoptimalkan mekanisme yang sudah ada seperti Kantor Staf Presiden atau Dewan Pertimbangan Presiden.
Yang diperlukan adalah memastikan kursi di dalamnya ditempati oleh sosok dengan keahlian teruji, bukan sekadar representasi politik.
Pada kenyataannya, pemerintah sudah memiliki segambreng unit dan lembaga pengumpul informasi, mulai dari kementerian teknis, lembaga survei, hingga badan intelijen.
Namun, pertanyaan yang lebih mendasar adalah apakah semua informasi itu benar-benar sampai ke
end user
, yaitu pejabat yang berwenang mengambil keputusan, atau justru berhenti di lapisan birokrasi menengah yang menyaring sesuai kepentingannya?
Tiga, membangun saluran aspirasi publik yang sederhana dan fungsional. Alih-alih membuat portal baru yang berisiko mandek, pemerintah dapat memaksimalkan kanal pengaduan yang sudah ada seperti SP4N-LAPOR! dengan kewajiban agar ringkasan keluhan utama disampaikan langsung dalam rapat kabinet mingguan.
Cara ini lebih mudah diterapkan daripada menciptakan sistem baru yang justru kompleks.
Selama ini, saluran semacam itu justru sering terabaikan. Tidak jelas apakah situs-situs pengaduan benar-benar dimanfaatkan sebagai jembatan antara rakyat dan pemerintah, atau sekadar dijadikan formalitas belaka.
Tanpa mekanisme yang memastikan keluhan sampai ke pengambil kebijakan, kanal tersebut hanya menjadi etalase digital yang menghabiskan anggaran tanpa daya guna.
Empat, menumbuhkan budaya birokrasi yang berani menyampaikan kabar buruk. Perubahan budaya tentu tidak bisa instan, tetapi dapat dimulai dengan memberi perlindungan bagi pejabat menengah yang berani melaporkan informasi tidak populer.
Dengan perlindungan itu, informasi yang sampai ke pucuk pimpinan tidak hanya berupa kabar baik, tetapi juga peringatan dini yang penting bahkan genting.
Masalahnya, birokrasi kita tidak terbiasa menghadapi risiko, tidak terbiasa membicarakan skenario terburuk, dan tidak terbiasa menyusun langkah antisipasi sejak dini.
Kalaupun dibahas, percakapan itu biasanya berlangsung terbatas di ruang internal, tidak melibatkan masyarakat sebagai pihak yang paling terdampak.
Padahal, mengenali risiko justru penting agar dampak yang lebih buruk dapat dicegah. Ketiadaan tradisi ini membuat perangkat antisipatif kita minim dan rapuh ketika berhadapan dengan guncangan besar.
Maka jangan berharap Indonesia bisa seketika meniru Jepang atau negara lain yang telah membangun
early warning system
yang mumpuni.
Untuk sampai ke sana, keberanian menyampaikan kabar buruk, baik di dalam birokrasi maupun secara terbuka kepada rakyat, harus lebih dulu menjadi budaya.
Jika kita bicara apa adanya, perangkat apa yang tidak dimiliki pemerintah untuk menghimpun informasi? Semuanya sesungguhnya sudah dimiliki.
Pemerintah memiliki berlapis instrumen yang mampu menangkap data dari masyarakat, lembaga riset, hingga teknologi digital yang semakin canggih. Tidak ada alasan bagi negara modern untuk merasa terisolasi dari arus informasi.
Tantangannya justru terletak pada bagaimana informasi itu dikelola dan disampaikan. Lingkaran terdekat pemimpin bisa menjadi jembatan yang memperlancar, tetapi juga berpotensi menjadi tembok yang menahan.
Di titik inilah ujian kepemimpinan sesungguhnya, apakah Presiden mendapatkan gambaran utuh dari realitas rakyat, atau hanya versi yang telah dipilah-pilah oleh lingkaran dalamnya.
Terakhir, wacana pembatasan satu orang satu akun media sosial, misalnya, mudah dianggap publik sebagai upaya membatasi kebebasan berekspresi.
Alih-alih menyelesaikan masalah, kebijakan semacam itu justru berisiko menurunkan kepercayaan dan memicu resistensi.
Dalam hal ini, pemerintah perlu juga berhati-hati atas rencana penerapan kebijakan tersebut.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.