Ketika Generasi Muda Jaga Kelestarian Mothik, Senjata Rahasia Warok Ponorogo yang Miliki Sejarah Kelam
Tim Redaksi
PONOROGO, KOMPAS.com
– Di balik gemerlapnya panggung reog, Ponorogo menyimpan pusaka yang tak banyak dikenal generasi muda, mothik.
Senjata tradisional ini bukan sekadar bilah baja, melainkan simbol harga diri dan pertahanan diri warok Ponorogo sejak abad ke-19.
Madan (25), salah satu pemuda Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur menaruh perhatian besar pada senjata rahasia dari para warok tersebut.
“Awalnya saya tidak tahu. Setelah menjadi anggota Pabuyuban Pramono atau Pangrekso Mothik Ponorogo, lalu dijelaskan apa itu mothik, senjata rahasia dari para warok yang ternyata memiliki kekhasan sendiri dibandingkan dengan senjata lainnya. Sejak itu saya belajar,” ujar Madan ditemui di rumahnya, Rabu (17/9/2025).
Mothik, menurut catatan sejarah, sudah dikenal sekitar tahun 1800-an di kawasan Geloraan atau Kecamatan Wangkujayan, wilayah Timur Ponorogo.
Bentuknya bervariasi, ada mothik Irungbuto yang pendek dan besar untuk bacoan jarak dekat, Mothik Ngelarwalang yang digunakan warok saat mengiringi pementasan reog, hingga Mothik Pamong yang hanya boleh dipakai pejabat desa seperti bayan atau kepala desa.
“Dari sekian senjata mothik itu yang menarik adalah mothik milik warok, karena memiliki perbedaan ciri khas dari setiap pemilik,” imbuhnya.
Mothik setiap warok menurut Madan memiliki perbedaan karena panjang senjata dipengaruhi oleh panjang lengan dari si pemilik.
“Panjang bilah mothik ditentukan oleh hasta, dari ujung jari sampai siku pemiliknya. Jadi setiap warok punya ukuran mothik yang berbeda, sesuai panjang lengan pemilik,” jelas Madan.
Mothik juga bukan sekadar senjata, tetapi lambang kebersamaan.
Di dalam Pabuyuban Pramono atau Pangrekso Mothik Ponorogo, logo mereka menggambarkan dua bilah mothik yang disilangkan.
“Ada dua versi. Satu dipakai untuk pamong, satunya lagi untuk ngelar malang,” terang Madan.
Fungsi mothik juga berbeda dengan parang atau celurit.
“Kalau parang dipakai untuk menebang pohon, mothik dibuat khusus untuk pertarungan. Bahannya baja murni, ditempa hingga muncul lipatan-lipatan baja sebagai penanda keasliannya,” ujar Madan sambil menunjuk detail ukiran di bilah mothik koleksi milik Kusdian, seorang kolektor pusaka Ponorogo.
Mothik pada jaman dahulu juga memiliki rancang bangun untuk pertarungan atau dikenal dengan istilah bacokan.
Ada alur pada bagian tengah senjata mothik yang memang memiliki fungsi tersendiri.
Pada bagian bilah, terdapat kirian atau jalan darah, yakni alur khusus yang berfungsi agar darah lawan tidak mengenai tangan pemegang.
“Kalau terkena pun, tidak banyak. Itu sudah dipikirkan para pandai besi zaman dulu,” tambahnya.
Sementara, Kusdian, salah satu kolektor mothik khas Ponorogo mengaku senjata mothik Ponorogo buatan tahun 1900-an mulai dipengaruhi gaya Eropa.
Pegangannya menyerupai genggaman pedang milik pejabat kolonial dengan tambahan pelindung tangan.
Bilah mothik juga lebih panjang dan ujung mothik juga lebih runcing dibandingkan dengan mothik milik para warok.
“Tapi yang asli tetap baja Jawa murni. Inilah yang membedakan mothik dengan senjata daerah lain seperti kujang dari Jawa Barat atau celurit dari Madura,” jelasnya.
Sejarah mencatat, mothik erat kaitannya dengan tradisi bacokan atau pertarungan.
Dalam catatan Thomas Stamford Raffles, disebutkan adanya duel menggunakan senjata tradisional Ponorogo pada abad ke-19.
“Kalau di Madura orang pakai celurit, di Ponorogo pakainya mothik. Bacoan dulu dianggap cara menyelesaikan masalah, meski akhirnya menimbulkan kesan kelam,” ujar Kusdian.
Bentuk mothik Irungbuto, misalnya, yang besar dan pendek, memang cocok untuk pertarungan jarak dekat.
Sekali tebas, bisa langsung melukai lawan.
Filosofi pada ukirannya pun mengandung pesan, “tundung musuh”, siapa pun yang menghadapi pemegang mothik akan mundur.
Namun, pemerintah Orde Baru sempat melarang peredaran senjata tradisional ini pada tahun 1970-an.
Banyak mothik disita, dianggap berbahaya.
Akibatnya, generasi setelahnya hampir tidak mengenal lagi senjata warisan leluhur ini.
“Kalau kita tidak lestarikan, bisa jadi hilang seperti reog yang sempat hampir diklaim Malaysia,” kata Madan dengan nada tegas.
Kini, Madan bersama komunitas Pramono berusaha mengenalkan mothik kepada generasi muda Ponorogo.
Mereka menggelar pameran, membuat duplikasi, dan mengedukasi lewat kirab budaya.
“Bagi saya, belajar mothik bukan untuk kekerasan. Justru supaya anak muda tahu, bahwa Ponorogo punya pusaka yang unik dan berbeda. Kalau Madura punya celurit, Jawa Barat punya kujang, kita punya mothik,” ujar Madan.
Selain itu, mothik juga mulai ditampilkan dalam kirab dan pementasan budaya.
“Kegiatan HUT Ponorogo kemarin kita ada pameran dan pertunjukan malam penutupan festival. Ini untuk mengingatkan masyarakat bahwa Ponorogo memiliki senjata warisan leluhur sama seperti daerah lain yang memiliki senjata khas mereka,” jelas Madan.
Kusdian menutup perbincangan dengan sebuah pesan, genrasi muda Ponorogo harus tahu jika di balik senjata mothik ada tanagntanagn trerampil pandai besi yang melahirkan senjata mothik.
“Setiap lipatan baja di bilah mothik adalah jejak tangan pandai besi Ponorogo. Jika generasi sekarang mau belajar, maka warisan ini akan tetap hidup. Bukan sebagai senjata, tetapi sebagai identitas budaya.” Katanya.
Madan mengaku tanggung jawab menjaga pusaka peninggalan leluhurnya tak bisa ditunda.
Bagi dia, belajar mothik adalah cara sederhana untuk mencintai tanah kelahiran, Ponorogo.
“Kalau kita tidak menjaga, maka jejak peradaban peninggalan leluhur kita itu akan hilang. Thomas Stamford Raffles saja sudah mencatatnya, kita harus menjaga dan melestarikannya sebagai identitas budaya asli Ponorogo,” pungkasnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Ketika Generasi Muda Jaga Kelestarian Mothik, Senjata Rahasia Warok Ponorogo yang Miliki Sejarah Kelam Surabaya 18 September 2025
/data/photo/2025/09/18/68cb3d96a8b70.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)