Cerita Ruslan, Satu dari Sedikit Pedagang yang Bertahan dengan Kumuhnya Pasar Lontar Jakpus
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pasar Lontar Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat makin sepi seiring pedagang yang angkat kaki dari sana.
Sejak terbakar pada 2023, pasar ini belum direvitalisasi.
Pedagang pakaian, perabotan, dan sebagainya yang sebelumnya mengisi blok belakang pasar satu per satu meninggalkan lapak.
Kini tersisa pedagang di blok depan yang menyatu dengan kontrakan warga.
Berdasarkan pantauan
Kompas.com,
Minggu (14/9/2025) siang, hanya kurang dari 15 pedagang yang masih berjualan di sana.
Salah satunya Ruslan (60). Dengan mengenakan kemeja batik merah, Ruslan duduk di depan toko sembakonya sambil melihat lalu lalang warga maupun kendaraan di jalan yang posisinya lebih tinggi dari pasar.
Banyak rekan pedagang Ruslan yang sudah tak berjualan lagi.
Kata dia, beberapa kios tutup karena pedagang meninggal dan tak ada keluarga yang mau meneruskan.
“Teman-teman di sini sudah enggak dagang juga karena sudah pada meninggal. Anaknya enggak mau lanjutin usaha. Anak sekarang kan jarang ada yang mau dagang, termasuk anak saya,” kata dia saat ditemui di Pasar Lontar, Minggu.
Toko Ruslan masih sesekali didatangi warga sekitar yang membeli kebutuhan sehari-hari. Namun, pendapatannya sudah turun drastis sejak pandemi Covid-19.
“Jauh (turunnya). Ibaratnya kalau dulu misalnya dapat misalnya Rp 1 juta per bulan, sekarang jadi Rp 500.000 saja, parah lah,” ujar dia.
Menurut Ruslan, saat ini warga Jakarta tidak banyak yang berminat belanja ke pasar, terlebih jika kondisi pasar tak terawat.
Keberadaan warung kelontong di tengah masyarakat pun disebut sering menjadi alternatif pasar. Ditambah dengan fenomena belanja
online
yang membuat masyarakat tak perlu keluar rumah.
“Memang daya beli masyarakatnya juga sudah rendah, apalagi buat ke pasar, sudah banyak nyari ke warung di pinggir-pinggir. Dan ada pengaruh online juga kayaknya,” kata dia.
Ruslan masih bertahan di pasar yang sudah kumuh itu karena tak menemukan tempat baru untuk berdagang.
Ia pun sudah tak tahu harus bekerja apa lagi di usianya yang sudah lanjut.
“Mau pindah ke mana juga enggak tahu. Enggak ada tempatnya. Akhirnya daripada di rumah, sudah tua begini, ya sudah kemari, nongkrong lah minimal,” tutur Ruslan.
Kata Ruslan, tidak ada lagi pedagang baru yang masuk ke pasar. Hanya pedagang lama yang masih berusaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pedagang yang terdampak kebakaran keluar dari pasar, atau dengan usaha sendiri berpindah dari blok belakang ke blok depan pasar.
Ruslan berpendapat, perbaikan tak kunjung dilakukan karena tidak ada lagi pedagang di blok belakang pasar.
“Soalnya sudah banyak ditinggal, sudah pada kosong. Kalau yang di atas (Pasar Inpres) kan pedagangnya banyak, makanya langsung dibangunin lagi,” kata dia.
Ruslan berharap, pemerintah mau membantu pedagang untuk segera merenovasi pasar demi kenyamanan mereka dan pembeli.
“Harapannya ya direhab lagi lah, dibangun baru lagi karena ini kumuh sekali, enggak kayak yang di atas sana,” ujar dia.
Ruslan juga meminta agar pasar dilengkapi fasilitas yang memadai, seperti toilet dan air bersih.
Menurut Kepala Pusat Koperasi Pedagang Pasar (Puskoppas) DKI Jaya, Gusnal, fenomena pedagang yang pamit dari pasar disebabkan karena pedagang kesulitan membayar kewajibannya di tengah perekonomian yang menurun.
Seperti membayar retribusi, parkir, mandi cuci kakus (MCK), listrik, dan biaya lainnya.
“Saat ini pedagang dalam keadaan sangat sulit sehingga susah untuk bertahan dalam berusaha, apalagi untuk memenuhi kewajibannya,” kata Gusnal.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Cerita Ruslan, Satu dari Sedikit Pedagang yang Bertahan dengan Kumuhnya Pasar Lontar Jakpus Megapolitan 14 September 2025
/data/photo/2025/09/14/68c699e667c05.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)