Waspadalah Ketika Gen Z Mulai Naik Darah
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
PERISTIWA
mengejutkan yang terjadi di Nepal tentu disebabkan oleh banyak faktor, tak berbeda dengan demonstrasi besar-besaran di Indonesia tempo hari.
Namun, biasanya faktor-faktor tersebut membutuhkan pemicu. Dan di Nepal pemicunya adalah kebijakan pemerintahnya yang memberlakukan larangan terhadap sekitar 26 platform media sosial besar, termasuk Facebook, X (Twitter), YouTube, Instagram, WhatsApp, dan lainnya, pada awal September 2025.
Media sosial adalah separuh dari kehidupan dari Gen Z. Sehingga cukup bisa dipahami mengapa kebijakan tersebut mendadak menjadi pemicu pecahnya amarah “Gen Z” di Nepal, lalu membuat mereka turun ke jalan, dan berakhir dengan pertunjukan kemarahan atau amuk massa yang jauh lebih masif dibanding Indonesia.
Sebenarnya, kebijakan pelarangan sebagian besar platform media sosial di Nepal bukan karena pemerintahannya benar-benar ingin melarang.
Jika kita dalami, penyebab utamanya adalah kegagalan, boleh jadi disengaja atau hanya kebetulan, dari platform-platform tersebut untuk mendaftarkan diri pada pemerintahan Nepal, sebagaimana telah diminta sebelumnya.
Pemerintah Nepal terpantau telah memberikan tenggat selama tujuh hari sejak 28 Agustus 2025, bagi perusahaan media sosial untuk mendaftar kepada pemerintah dan telah menetapkan kantor di mana pendaftaran harus dilakukan beserta pejabat pengaduan yang bisa dihubungi.
Namun platform-platform besar itu gagal mematuhi tenggat waktu tersebut, sehingga membuat pemerintah Nepal terpaksa harus memutuskan untuk memblokir akses terhadap platform-platform tersebut pada 4 September 2025.
Di satu sisi, pemerintah Nepal memang gagal memberikan narasi yang memuaskan atas kebijakan pelarangan tersebut.
Di sisi lain, pemerintah Nepal justru menyampaikan bahwa tujuan larangan adalah untuk menangani penyebaran misinformasi,
hate speech,
dan kehadiran platform-platform tanpa ikatan regulasi yang jelas.
Walhasil, banyak pengamat dan kelompok hak asasi manusia akhirnya melihat narasi tersebut sebagai bentuk sensor dan upaya pembungkaman atas kebebasan berekspresi (
freedom of speech
).
Menanggapi itu, pada 8 September 2025, aksi unjuk rasa besar terjadi di Kathmandu, khususnya di sekitar Gedung Parlemen dan area Maitighar Mandala.
Ribuan pemuda yang tergabung dalam gerakan “Protes Gen Z” turun ke jalan, menuntut pencabutan larangan terhadap media sosial sambil menyoroti isu korupsi dan pengangguran.
Demonstrasi yang semula damai kemudian berubah menjadi perlawanan yang diiringi oleh kekerasan.
Di sisi lain, Kepolisian mulai menggunakan gas air mata, peluru karet, dan bahkan peluru tajam. Sehingga 19 orang setidaknya tercatat tewas dalam bentrokan tersebut, yang membuat perlawanan justru semakin menjadi-jadi.
Larangan media sosial bukan hanya penyebab langsung demonstrasi, tetapi juga simbol atau semacam pemicu dari ketegangan, terutama antara generasi muda dan pemerintahan setempat.
Ketegangan tersebut khususnya terkait masalah korupsi, kebebasan berpendapat, dan frustrasi terhadap masa depan para generasi muda, sebagaimana analisis saya terhadap perlawanan sosial di Indonesia tempo hari.
Selama ini, platform-platform media sosial sudah lazim menjadi sarana utama bagi generasi muda Nepal untuk menyuarakan kritik, menyebarkan informasi, dan mengorganisir aksi.
Ketika akses itu dicabut secara tiba-tiba, tidak pelak dianggap sebagai serangan langsung terhadap ruang digital yang mereka anggap milik bersama. Ekspresipun akhirnya berpindah ke dunia nyata.
Dengan kata lain, demonstrasi yang berujung kerusuhan di Nepal mencerminkan akumulasi ketidakpuasan sosial-ekonomi yang sudah cukup dalam dan lama di satu sisi dan bersifat multidimensi di sisi lain.
Krisis harga kebutuhan pokok, terutama bahan makanan dan energi, menjadi salah satu faktor utama yang mendorong masyarakat bak air bah berbondong-bondong turun ke jalan.
Lonjakan inflasi yang tidak seimbang dengan pertumbuhan pendapatan rumah tangga membuat kelompok kelas menengah ke bawah dan masyarakat miskin semakin terdesak secara sosial dan ekonomi.
Selain faktor ekonomi, ada dimensi struktural di dalam masyarakat Nepal yang memperburuk situasi.
Sistem politik yang masih rapuh pasca-transformasi republik sering kali gagal memberikan respons cepat terhadap kebutuhan rakyat.
Elite politik kerap terjebak dalam persaingan kekuasaan yang dangkal, sementara kebijakan publik yang pro-rakyat gagal dihadirkan.
Ketidakpuasan publik terhadap korupsi, birokrasi yang lamban, dan kesenjangan pembangunan antara wilayah perkotaan dan pedesaan turut menambah rasa frustrasi generasi muda.
Kombinasi ini melahirkan persepsi bahwa negara tidak hadir untuk melindungi dan bekerja demi rakyatnya di dalam masa krisis.
Kerusuhan yang terjadi juga mengindikasikan adanya ketegangan antara generasi muda dengan struktur sosial lama.
Anak muda Nepal yang sudah lama berhadapan dengan tingkat pengangguran tinggi merasa tidak memiliki masa depan yang pasti di dalam negeri mereka sendiri.
Banyak dari generasi muda Nepal ini, terutama Gen Z, bermigrasi ke luar negeri, terutama ke Timur Tengah atau India, untuk mencari penghidupan.
Ketika peluang domestik semakin sempit dari hari ke hari, frustrasi mereka menjadi semakin mudah bertransformasi menjadi aksi-aksi massif yang frontal.
Demonstrasi pun akhirnya menjadi wadah ekspresi politik sekaligus pelarian emosional atas kekecewaan yang sudah menumpuk bertahun-tahun.
Masalah-masalah yang dirasakan oleh masyarakat Nepal tersebut berpadu dengan lemahnya kapasitas negara dalam mengelola demonstrasi.
Aparat keamanan sering kali bertindak represif, mirip dengan di Indonesia, yang justru memperburuk ketegangan dan memicu eskalasi kerusuhan.
Bukannya menjadi sarana mediasi, intervensi aparat malah memperlihatkan wajah negara yang cenderung mengutamakan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri.
Hal tersebut tak pelak memperkuat narasi oposisi bahwa pemerintah tidak berpihak pada rakyat, melainkan hanya menjaga status quo bagi elite politik dan ekonomi yang sudah sedari dulu hidup dalam kemewahan.
Pun tak berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, sebagaimana sempat saya bahas dalam beberapa tulisan terdahulu, dari perspektif sosial-ekonomi, demonstrasi masif di Nepal merepresentasikan jurang ketidaksetaraan yang makin menganga.
Pertumbuhan ekonomi Nepal memang lebih banyak dinikmati oleh kalangan terbatas di perkotaan. Sementara sebagian besar masyarakat kelas bawah dan pedesaan justru masih hidup dengan keterbatasan infrastruktur, layanan kesehatan, akses pendidikan bahkan pangan.
Ketimpangan ini menciptakan persepsi dan rasa ketidakadilan sosial di tengah-tengah generasi muda Nepal, yang hanya membutuhkan satu trigger untuk berubah menjadi ledakan sosial berupa protes masal.
Walhasil, kerusuhan pada akhirnya bukan lagi tentang harga barang atau kebijakan jangka pendek, tetapi berubah menjadi isu kegagalan sistemik dalam mendistribusikan kesejahteraan secara adil kepada masyarakat Nepal.
Tak pula bisa dipungkiri ada
effect domino
dari gerakan demonstrasi masif yang terjadi di Indonesia jelang akhir Agustus lalu.
Jika diperhatikan secara komparatif di media-media sosial, terutama di Asia dan Asia Tenggara,
effect domino
dari Indonesia memang terjadi, terutama di negara-negara seperti Filipina, Thailand, dan tentunya Nepal ini.
Effect domino
terjadi di negara-negara yang pemerintahannya dianggap cenderung korup, oligarkinya kuat, atau politik dinastinya menonjol, pun negara yang masih mempertahankan sistem tradisional seperti di Nepal, tapi kinerja penguasanya cenderung dianggap sangat tidak memuaskan.
Namun, negara-negara yang memiliki sistem pemerintahan yang kuat, tingkat konsolidasi elitenya juga sangat tinggi, sekalipun tidak terlalu demokratis, tapi berkinerja baik, seperti Singapura, banyak sedikitnya juga Malaysia,
effect domino-
nya sangat mudah ternetralisasi oleh publik negara itu sendiri.
Sementara negara-negara yang memang sudah didominasi oleh elite politik dan militer, hampir bisa dipastikan sulit untuk terimbas efek domino, karena ruang publiknya cenderung dikontrol secara ketat.
Salah satu indikasi
effect domino
tersebut di Nepal adalah bendera
One Piece
yang juga digunakan di Nepal dan cukup masif beredar di media sosial Filipina dan Thailand.
Di Nepal, memang banyak demonstran muda mengibarkan bendera hitam bergambar tengkorak dengan topi jerami alias ikon Straw Hat Pirates dari manga/anime
One Piece
yang digadang-gadang sebagai simbol perlawanan terhadap sensor dan korupsi pemerintah.
Lantas pertanyaannya, mengapa Gen Z?
Tentu tidak berbeda dengan Indonesia tempo hari. Gen Z di Nepal jumlahnya juga sangat besar. Di Indonesia, Gen Z menjadi generasi terbesar, sekitar 26 persen dari total penduduk berdasarkan data Pemilu 2024 lalu.
Apalagi jika memakai kacamata sosiolog Hungaria Karl Mannheim, misalnya, generasi bukan hanya soal usia biologis, melainkan juga kesadaran kolektif yang terbentuk melalui pengalaman historis bersama.
Gen Z dan Gen Milenial sudah sulit dipisahkan jika keduanya berada pada isu yang sama.
Gen Z di Nepal tak berbeda dengan Gen Z di belahan dunia lainnya. Mereka tumbuh di era digitalisasi global, keterhubungan yang intens melalui media sosial, serta ekspektasi pada mobilitas sosial yang lebih baik.
Namun, ketika harapan tersebut berbenturan dengan realitas struktural berupa pengangguran, ketimpangan, dan yang aktual kini sensor digital, misalnya, maka otomatis terbentuklah kesadaran kolektif untuk melawan.
Demonstrasi pun menjadi ekspresi politis dari “unit generasional” yang merasa hak-hak fundamental mereka telah diabaikan. Dan ekspresi tersebut ternyata merepresentasikan perasaan publik secara umum. Klop sudah.
Dari perspektif teori ruang publik Jürgen Habermas, misalnya, media sosial berfungsi sebagai arena deliberasi dan artikulasi kepentingan publik.
Bagi Gen Z, tak terkecuali di Nepal, platform digital seperti Facebook, Instagram, dan X bukan sekadar alat komunikasi, tetapi ruang politik yang memungkinkan mereka membangun identitas, solidaritas, dan narasi tandingan terhadap negara.
Sehingga larangan media sosial yang diberlakukan pemerintah akan serta-merta dilihat sebagai upaya menutup ruang publik digital, yang justru mempercepat mobilisasi berpindah ke jalanan.
Dengan kata lain, ketika ruang komunikasi formal dibatasi, generasi muda akan mencari kanal ekspresi alternatif melalui aksi kolektif, yang berpotensi berujung kerusuhan jika keresahan sudah mencapai titik “kemuakan kelas dewa”.
Laurie Rice dan Kenneth Moffett di dalam buku mereka, “The Political Voices of Generation Z”(2021), mengafirmasi mengapa Gen Z cenderung tidak sama dengan generasi sebelumnya di dalam berekspresi, karena mereka lebih progresif dan berani.
Gen Z, kata Rice dan Moffett, memiliki orientasi politik yang cenderung lebih progresif dibandingkan generasi Milenial maupun generasi X.
Dari sisi pandangan, gen Z lebih terbuka terhadap keberagaman, lebih peduli pada inklusivitas, dan lebih getol menuntut transparansi dari institusi politik.
Bahkan kedua penulis ini menemukan bahwa tingkat kepercayaan Gen Z terhadap institusi tradisional, seperti partai politik dan lembaga pemerintah, cenderung rendah.
Hal ini menimbulkan pola partisipasi yang lebih banyak bergerak di luar sistem formal, misalnya melalui gerakan sosial atau kampanye digital.
Kendati demikian, dalam hemat saya, pola tersebut berlangsung dalam kondisi normal. Jika titik didihnya sudah tercapai, pemicunya tepat, maka pembakaran dan perlawanan masif akan menjadi model partisipasi yang masuk akal.
Dengan kata lain, toh Gen Z memang sudah kurang percaya pada institusi elite dan pemerintahan.
Lalu, saat institusi-institusi ini melakukan hal-hal di luar etika dan kewajaran, bahkan terkesan meremehkan masyarakat banyak, termasuk generasi muda, apalagi sampai membatasi ruang gerak generasi muda, maka hal-hal di luar nalar dan perkiraan pun akhirnya bisa masuk akal di mata para Gen Z.
Singkat kata, sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin berpesan kepada pemerintah bahwa diakui atau tidak, pemerintahan hari ini di sini dimenangkan oleh Generasi Z. Bahkan suara generasi yang satu ini menjadi penentu pemilihan tempo hari.
Di permukaan, Gen Z memang mudah terpukau populisme, bahkan hanya dengan tarian dan jogetan ala kadarnya.
Namun, dalam hemat saya, hal itu baru sekedar gambaran preferensi dan kesukaan politik semata, belum menjadi gambaran kepercayaan penuh.
Maka raihlah kepercayaan penuh dari generasi ini, dengan perbaikan yang berarti di segala lini sekaligus benar-benar menyentuh akar persoalan, jika tak ingin “grievances” dari Gen Z kita berubah menjadi “Revenge”.
Gen Z memang mudah terpukau, tapi tidak berarti mereka tak kritis dan tak bernyali seperti yang terjadi di Nepal itu. Mohon dicatat!
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
7 Waspadalah Ketika Gen Z Mulai Naik Darah Nasional
/data/photo/2025/09/10/68c13d0cea24e.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)