Sementara di Padang, pemerintah kota masih terus mengupayakan pembangunan RDF di TPA Air Dingin meski hingga kini belum ada kejelasan dari pemerintah pusat yang mencanangkan proyek ini.
“Dari pemerintah pusat hingga saat ini belum memiliki titik terang. Apakah persoalannya terkait efisiensi atau hal lain, saya tidak ingin berspekulasi,” kata Fadly.
Ia menyampaikan saat ini lelang pembangunan RDF sudah dilakukan beberapa kali dan selalu gagal. Proses lelang memang ada di tingkat pusat, bukan di pemerintah kota.
“Apakah kegagalannya karena faktor teknis atau efisiensi anggaran, saya tidak bisa memastikan. Yang jelas, dengan sisa waktu yang ada, sepertinya kecil kemungkinan proyek RDF dapat dibangun sesuai target,” jelasnya.
Namun demikian pihaknya terus menjalin komunikasi dengan pihak investor, sudah ada dua pihak investor yang datang ke Kota Padang, yakni dari Jepang dan dari Jakarta.
Terkait pengelolaan sampah yang produksinya mencapai 750 ton per hari, menurutnya pemerintah Kota Padang akan meningkatkan kontribusi masyarakat.
“Pertama, bagaimana warga bisa berperan mengurangi timbulan sampah, baik sampah rumah tangga, organik maupun anorganik. Kedua, pentingnya pemilahan sampah sejak dari rumah,” katanya.
Dengan begitu, ketika LPS datang mengangkut sampah, mereka hanya mengambil yang tidak bernilai. Sedangkan sampah yang bernilai bisa dikelola oleh bank sampah agar memberi manfaat kepada masyarakat sekaligus mengurangi beban TPA.
“Saya sering sampaikan, berapa pun jumlah petugas kebersihan, tidak akan cukup jika masyarakat tidak terlibat langsung. Karena itu, fokus kita ke depan bukan hanya membersihkan kota atau menambah armada, melainkan mendorong partisipasi masyarakat. Bentuknya bisa berupa reward and punishment memberi penghargaan di tahap awal, lalu menegakkan perda dengan sanksi sosial,” ujarnya.
Pihaknya sudah menjalin kerja sama dengan pihak pemasyarakatan untuk penegakan perda. Dengan adanya perubahan KUHP tahun 2023 yang akan berlaku pada 2026, Fadly ingin Kota Padang menjadi pionir dalam menerapkan hukuman sosial.
“Misalnya, warga yang ketahuan membuang sampah sembarangan diminta ikut membersihkan kota sebagai bentuk empati atas pelanggaran yang dilakukan,” kata dia.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Padang, Fadelan Fitra Masta menyampaikan produksi sampah di Kota Padang mencapai sekitar 750 ton sampah per hari.
“65 persennya sampah organik, dan sisanya anorganik,” ujarnya, 22 Agustus 2025.
Dari jumlah itu 466,49 ton masuk ke Tempat Pengolahan Sampah Terakhir (TPST) dan sekitar 136,38 ton berhasil dikurangi melalui pemilahan.
Data tersebut menunjukkan bahwa baru sekitar 40,13 persen sampah yang berhasil dipilah, sedangkan sisanya belum terolah dan langsung berakhir di TPST.
Menurut Fadelan saat ini pihaknya terus memperkuat layanan pengumpulan sampah berbasis masyarakat melalui Lembaga Pengelola Sampah (LPS) dan bank sampah. Masyarakat bisa memilih salah satu layanan ini.
“Dari dua lembaga tersebut, sampah dipilah dan diolah, sehingga yang dibawa ke TPA hanya residu. Pemko juga akan memperkuat Lokasi-lokasi pengolahan sampah agar prinsip 3R semakin berjalan,” katanya.
Terkait pembangunan RDF, Fadelan tidak mau berkomentar karena hal itu merupakan wewenang pemerintah pusat. Namun dari rencana jangka panjang dalam tiga tahun ke depan, pengelolaan sampah dari 750 ton volume sampah per hari, 250 ton organik akan dikompos. Kemudian 200 ton diolah melalui RDF, 150 ton didaur ulang anorganik, dan 75 ton organik untuk maggot.
Jika RDF di Kota Padang jadi dibangun, palet yang dihasilkan RDF ini akan dijual ke pabrik semen PT Semen Padang. Direktur Utama PT Semen Padang Indrieffouny Indra menyampaikan keberadaan fasilitas RDF akan mendorong peningkatan pemakaian energi alternatif di pabrik semen.
Saat ini, pemanfaatan bahan bakar non-batu bara seperti sekam padi, serbuk gergaji, dan sampah organik baru sekitar 3 persen dari kebutuhan 1,2 juta ton batu bara per tahun. Dengan adanya RDF, persentasenya ditargetkan naik menjadi 6 persen pada 2025, dan terus meningkat hingga 30 persen pada 2029.
Sementara Direktur WALHI Sumbar, Wengki Purwanto, mengingatkan bahwa pemerintah Kota Padang jangan tergesa-gesa menjadikan RDF sebagai solusi utama untuk memperbaiki tata kelola sampah.
Ia menekankan pentingnya fokus memperkuat pengelolaan di hulu terlebih dahulu. “Pemerintah Kota Padang seharusnya menguatkan proses pemilahan dari rumah, mengedukasi masyarakat, dan bila perlu merumuskan regulasinya,” jelasnya.
Menurut Wengki, membangun kesadaran kolektif sangat mendesak dilakukan mulai dari rumah tangga, institusi pendidikan (SD hingga perguruan tinggi), dunia usaha hingga pemerintah sendiri harus menjadi teladan.
Ia mencontohkan kasus RDF plant di Rorotan, Jakarta Utara sebagai pelajaran penting. “RDF justru menimbulkan polusi, bukan menyelesaikan masalah. Jika teknologi diterapkan tanpa perbaikan tata kelola dan manajemen, justru menjadi masalah baru,” tegasnya.
Selain tata kelola, efisiensi dan ekonomi, kata Wengki, dari sejumlah penelitian potensi kegagalan RDF bukan hanya hipotetis. Pada mesin pengolah sampah menjadi RDF (misalnya mesin shredder), sering terjadi hambatan operasional ketika sampah bersifat basah atau bercampur lumpur.
Hal ini menyebabkan penyumbatan, arus pendek listrik, dan operasi mesin yang hanya bertahan singkat (sekitar 7 jam), dengan produksi RDF hanya sebesar 3 ton per shift.
Dalam Jurnal “Analisis Keandalan Teknologi Pengolah Sampah TPA Menjadi Bahan Bakar Refuse Derived Fuels (RDF) dengan Pendekatan Six Sigma DMAIC” diterbitkan oleh Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Negeri Jakarta pada 2020, menemukan bahwa penyebab utama kegagalan produksi RDF adalah faktor kelalaian manusia seperti kurangnya pelatihan, kualitas material yang mudah korosi, pengukuran yang tidak standar, tidak adanya SOP, minimnya preventive maintenance, kesulitan mendapatkan suku cadang, serta kondisi lingkungan seperti sampah basah karena hujan.
Dalam jurnal tersebut, contoh empiris dari instalasi RDF menunjukkan rata-rata ketersediaan mesin (availability) sekitar 85 persen, namun masih terdapat masalah defect karena material tersangkut pisau shredder. Sebagai contoh, jumlah defect per bulan bervariasi antara 0 hingga 8 ton dari produksi 70-80 ton RDF. Artinya, downtime produksi dan kualitas output masih menjadi tantangan.
Wengki menyampaikan, seharusnya pemerintah belajar dari banyak daerah lain yang sudah terlebih dahulu menggunakan RDF, seperti RDF Rorotan di Jakarta. Selama uji coba pada Februari 2025, pabrik RDF memicu asap pekat dan bau menyengat akibat kesalahan teknis dan sistem kontrol bau yang tidak siap.
“Dari data Walhi, warga sekitar melaporkan gangguan pernapasan, terutama di antara anak-anak dan lanjut usia. Walhi juga menyoroti bahwa pemrosesan sampah campuran tanpa pemilahan memicu ketergantungan pada pasokan sampah, menghambat upaya pengurangan sampah di hulu, sekaligus meningkatkan risiko polusi jangka panjang, ini harus jadi Pelajaran bagi daerah lain,” ia menambahkan.