Tak Seperti Jakarta atau Semarang, Ini Pesona Unik Kota Tua Gorontalo Makassar 18 Agustus 2025

Tak Seperti Jakarta atau Semarang, Ini Pesona Unik Kota Tua Gorontalo
                
                    
                        
                            Makassar
                        
                        18 Agustus 2025

Tak Seperti Jakarta atau Semarang, Ini Pesona Unik Kota Tua Gorontalo
Tim Redaksi
GORONTALO, KOMPAS.com –
Berbeda dengan Kota Tua Jakarta atau Kota Lama Semarang yang megah dengan bangunan bertingkat, Kota Tua Gorontalo menyajikan pesona unik lewat jejeran arsitektur kolonial satu lantai yang masih bertahan kokoh hingga kini.
Kawasan ini menjadi saksi bisu denyut sejarah Gorontalo sebagai kota nyaman di tepi Teluk Tomini.
Bangunan tua ini bukan hanya milik pemerintah semata, juga banyak yang dimiliki masyarakat.
Di kawasan 0 km, bangunan tua yang paling menonjol adalah gedung bekas rumah asisten residen Gorontalo.
Bangunan beton ini menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda yang diperkirakan dibangun pada awal tahun 1900-an, di depannya, di sisi selatan terdapat plaza atau alun-alun yang luas.
Di sisi timur dan barat alun-alun berjejer bangunan tua yang digunakan sebagai kantor, rumah dinas instansi, hotel. Sedangkan di sisi selatannya terdapat rumah sakit tentara yang dulunya adalah hotel, juga ada gereja tua.
Semua bangunan tampak utuh dengan gaya arsitektur yang mewakili zamannya, era kolonial.
“Secara morfologi sebaran bangunan tua di Gorontalo relatif paling utuh di Sulawesi,” kata Irfanuddin Marzuki seorang arkeolog Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang banyak melakukan riset kota tua Gorontalo, Senin (18/8/2025).
Sebaran bangunan tua ini tidak hanya di kawasan yang menjadi pusat pemerintahan pada masa Hindia Belanda yang berada di sebagian Kelurahan Tenda dan Kelurahan Biawao, namun juga di daerah pinggirannya seperti di Kelurahan Ipilo, Biawu, dan Limba.
Kota tua Gorontalo memiliki kekhasan tersendiri. Sangat berbeda dengan Kota Tua Jakarta, Kota Lama Semarang atau Kota Tua Surabaya.
Di Kota Tua Gorontalo, bangunan era kolonial hanya satu lantai, bukan gedung bertingkat seperti di kota besar yang menjadi bandar pada masa lalu.
Meskipun bangunan hanya satu lantai, namun gaya arsitekturnya tidak kalah menariknya, demikian juga dengan sejarahnya.
Bangunan-bangunan tua ini tidak hanya berdiri kaku diam, namun setiap bangunan mampu mengisahkan masa lalunya.
Seperti bangunan kayu hitam bekas Hotel Velberg yang sekarang masih berdiri kokoh menjadi lokasi kuliner, hotel ini dibangun tahun 1900 oleh Henry Velberg seorang syahbandar Gorontalo.
Hotel ini menjadi tempat menginap para pelaut yang kapalnya bersandar di dermaga pelabuhan tidak jauh dari tempat ini.
Di era tahun 1960 hotel ini berubah nama menjadi hotel Melati dan dikelola oleh anak Henry bernama Fritz Velberg hingga tahun 1994.
Usai Fritz wafat, pengelolaan bangunan itu dilanjutkan oleh anaknya bernama Alexander Velberg dengan bangunan baru yang berada di sampingnya, sekarang pengelolaannya sudah diteruskan generasi kelima keluarga Velberg, Januar Velberg.
Tetamu Gorontalo pada masa lalu, terutama pembesar pemerintahan tidak hanya menginap, mereka juga dijamu dengan pesta dan dansa di Soceiteit Wilhelmina yang berada di seberang hotel Velberg, dipisahkan oleh alun-alun. Soceiteit Wilhelmina saat ini menjadi kantor militer.
Permukiman lama di sekitar alun-alun ini juga dikenal sebagai Kampung Borogo atau Borgo, yang dihuni para ambtenaren, yaitu para pegawai negeri atau pejabat yang bekerja di pemerintahan Hindia Belanda.
Sebaran bangunan era kolonial ini tidak hanya berpusat pemerintahan, kelurahan Ipilo juga menjadi kawasan yang banyak berdiri rumah-rumah bergaya indis.
Rumah-rumah ini dulunya dihuni oleh para pembesar negeri atau saudagar kaya. Demikian juga dengan kawasan lain yang saat ini masih menyisakan tinggalan masa lalu.
Pemanfaatan bangunan ini tidak semata untuk kantor atau rumah tinggal, sejumlah warga juga memanfaatkan untuk lokasi berniaga, seperti bangunan Kopi Tiam Ajama, sebuah legenda warung kopi masa lalu yang dikelola dari generasi ke generasi.
Bangunan-bangunan tua ini bergaya indis, perpaduan selera eropa, bahan lokal, dan penyesuaian dengan iklim tropis yang hangat menjadi saksi bahwa daerah ini dulunya dihuni banyak bangsa, barat dan timur.
Bahkan penamaan daerah atau toponimi sudah menunjukkan pengaruh banyak bangsa. Ada kampung Borogo, Kampung Cina, Kampung Arab, Kampung Bugis, hingga Kampung Tenda.
Tenda adalah kata yang berasal dari Bahasa Portugis, menunjukkan bahwa Raja Gorontalo hanya mengizinkan pelaut Portugis menginap di sekitar pelabuhan dengan membangun tenda-denda, tidak boleh masuk ke wilayah lain.
Tidak ada kemacetan dan hawa panas akibat pembuangan kendaraan yang berlalu lalang di Kota Tua Gorontalo, di Kota Gorontalo ini hanya dihuni penduduk 205.400 jiwa berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023.
Sebuah kota kecil di tepi Teluk Tomini yang nyaman untuk dikunjungi dan ditinggali.
Berkeliling di kota tua Gorontalo merupakan tantangan menarik, menikmati langgam arsitektur masa lalu dengan kisah dan sejarah setiap bangunan dan kawasan yang memikat, juga udara tropis yang bersih.
“Kami selalu mengajak kaum muda untuk memahami kondisi Kota Gorontalo dengan tinggalan masa lalunya” kata Sri Sutarni Arifin Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah/Kota (PWK) Universitas Negeri Gorontalo.
Ajakan Sri Sutarni bukan hanya untuk sebuah kesenangan semata, namun berharap para kaum muda mampu mempelajari dan meneliti kekayaan budaya Gorontalo ini.
Dari pengenalan kota tua ini ia berharap tumbuh kesadaran logis untuk melakukan konservasi dan pengembangan untuk masa depan.
Menurutnya kota ini tidak tiba-tiba hadir, namun melalui proses panjang dinamika sosial dan sejarah hingga menjadikan Kota Gorontalo sebagai kota terbesar di Teluk Tomini.
Teluk Tomini merupakan teluk terbesar di dunia yang berada di garis khatulistiwa, teluk ini dilingkari lengan daratan Sulawesi yang meliputi wilayah adminsitrasi Provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah, dan menjadi salah satu pusat wisata bahari dunia dengan segi tiga terumbu karangnya yang terkenal.
Meski awalnya hanya sebagai daerah pelintasan wisatawan mancenegara dari dari Pulau Bunaken ke Togean, namun seiring waktu objek wisata Gorontalo menjadi magnit tersendiri bagi para pelancong.
“Saat di Gorontalo para wisatawan biasanya keliling kota, keluar hotel jalan kaki ke kota tua, kuliner dan belanja. Ada juga para bule demikian,” ujar Karim seorang pengemudi bentor, kendaraan khas Gorontalo.
Seiring waktu dan perkembangan zaman, bangunan-bangunan tua ini terus bertahan di tengah keterbatasan pemiliknya menyediakan ruangan baru. Namun tidak semua mampu bertahan, ada yang dirobohkan untuk diganti dengan bangunan dan langgam arsitektur baru, ada yang dibongkar dan dibagi karena menjadi warisan.
Sebelum semua banguna tua era kolonial ini hilang, selayaknya menyempatkan diri mengunjungi kota tua Gorontalo.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.