Pakai Suara Burung Asli, Hotel di Tangsel Tetap Ditagih Royalti, Bagaimana Bisa? Megapolitan 18 Agustus 2025

Pakai Suara Burung Asli, Hotel di Tangsel Tetap Ditagih Royalti, Bagaimana Bisa?
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        18 Agustus 2025

Pakai Suara Burung Asli, Hotel di Tangsel Tetap Ditagih Royalti, Bagaimana Bisa?
Penulis

TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com –
Manajemen Pranaya Boutique Hotel, Serpong, Tangerang Selatan, menolak tuduhan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang menyebut hotel tersebut memutar musik di area publik tanpa lisensi.
General Manager Pranaya Boutique Hotel, Bustamar Koto, meminta LMKN membuktikan klaim sebelum melayangkan surat resmi.
“Kalau menuduh, harus buktikan dulu. Jangan hanya main tembak. Harus jelas, lagu apa, musik apa, dan kapan itu diputar,” ujar Bustamar kepada
Kompas.com
, Jumat (15/8/2025).
Bustamar menegaskan sejak ia menjabat pada April 2022, pihaknya tidak pernah memutar musik di area publik hotel.
Seluruh perangkat pengeras suara bahkan telah dibuang demi menyesuaikan konsep
natural deluxe
.
Sebagai gantinya, hotel menghadirkan suara alami dari delapan burung peliharaan, seperti lovebird dan parkit Australia, serta suara gemericik air dan jangkrik.
Burung-burung tersebut ditempatkan di area restoran dan sudut-sudut hotel lain.
Menurut Bustamar, suara burung liar yang singgah juga sering terdengar oleh tamu, terutama pada sore hari.
“Biasanya kalau sore itu, burung-burung dari luar juga datang. Jadi seperti memancing kicauan,” ucapnya.
Menurut dia, interpretasi Undang-Undang Hak Cipta yang tidak jelas berpotensi menjerat pelaku usaha yang sebenarnya tidak memanfaatkan musik secara komersial.
“Kalau menuduh, harus ada buktinya. Jangan hanya berasumsi semua hotel atau restoran memutar musik,” kata dia.
“Ini berbahaya jadi harus ada interpretasi yang adil, yang benar, yang clear tentang apa yang disebut dengan penggunaan musik dan lagu di area publik,” sambungnya.
LMKN mengonfirmasi bahwa surat tertanggal 28 Juli 2025 memang dikirim kepada pihak hotel.
Namun, Pelaksana Harian LMKN, Tubagus Imamudin, menilai pihak hotel terlalu reaktif karena langsung menyampaikan bantahan ke publik alih-alih menggunakan hak jawab resmi.
“Seharusnya mereka minimal menghubungi kami bahwa tidak menggunakan musik. Harusnya selesai di situ,” kata Tubagus.
Sebelumnya, Ketua LMKN, Dharma Oratmangun, menegaskan rekaman suara apapun, baik musik maupun suara alam, tetap masuk ruang lingkup hak terkait jika berbentuk rekaman fonogram.
Artinya, meskipun suara tersebut bukan musik ciptaan, jika diputar dalam bentuk rekaman, tetap wajib membayar royalti sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
“Putar rekaman suara burung, suara apapun, produser yang merekam itu punya hak terhadap fonogram tersebut. Jadi tetap harus dibayar,” tegas Dharma.
Dalam penjelasan ini, yang dimaksud dengan kewajiban royalti adalah ketika pelaku usaha memutar rekaman suara.
Jika suara berasal langsung dari alam atau hewan yang ada di tempat, maka tidak bisa dikenakan royalti.
Kasus ini mencerminkan perlunya kepastian hukum agar regulasi hak cipta berjalan seimbang, yakni melindungi hak pencipta dan produser, sekaligus memberi kepastian bagi pelaku usaha yang mengusung konsep berbeda, seperti menghadirkan suara alam secara langsung.
(Reporter: Intan Afrida Rafni | Editor: Larissa Huda)
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.