Saat Jakarta Tak Pernah Siang di Kampung Tongkol…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Kehidupan warga di Kampung Tongkol, Kelurahan Ancol, Jakarta Utara, seolah tak “mengenal” siang.
Cahaya matahari sulit menembus ke permukiman yang membuat siang hari terasa seperti malam yang tak berujung.
Lorong-lorong sempit hanya selebar 1,5 meter menjadi satu-satunya jalur lalu lintas warga. Di beberapa titik, sepeda motor terparkir di depan rumah mempersempit ruang gerak.
Di antara dinding-dinding bata yang menempel tanpa celah, terlihat jemuran pakaian yang masih basah menggantung.
Bagi warga, getaran dan bising kereta sudah menjadi bagian hidup sehari-hari.
“Enggak sih, (kami) beradaptasi dengan lingkungan sangat baik. Kami di sini kekeluargaan, saling membantu. Justru dengan kampung unik seperti ini kan kami saling membantu,” kata Tias (54), salah satu warga saat ditemui
Kompas.com
, Rabu (6/8/2025).
Tias telah tinggal di Kampung Tongkol lebih dari dua dekade. Ia pindah dari Kampung Sumur, Klender, demi mendekatkan diri dengan tempat kerja suaminya di Taman Sari, Jakarta Barat.
“Waktu itu kan ayahnya ini kerjanya jauh, di Taman Sari. Nah, pas itu kan ada teman nawarin kontrakan. Ini setahun cuma kena Rp 1,4 juta. Itu satu tahun. Saya senang sekali ya, saya coba-cobalah,” ujarnya.
Lama-kelamaan, rasa betah tumbuh. Rumah kontrakan yang awalnya ia sewa akhirnya bisa ia beli.
“Alhamdulillah rumah itu (sekarang) kebeli sama saya sendiri. Jadi sampai saat ini,” kata dia.
Dari rumah itu, Tias membesarkan anak-anaknya. Salah satunya sempat berkuliah, namun terhenti karena keterbatasan biaya.
“Anak saya juga tadinya kan kuliah, cuma karena saya nggak mampu, jadi dia sementara berhenti dulu. Sudah di rumah saja,” ungkapnya.
Tias mengakui bahwa ia dan warga lainnya tak pernah membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk rumahnya.
“Alhamdulillah kami kan nggak bayar pajak tanah. Ini dari PJKA,” katanya.
Lahan yang ia tempati, seperti juga rumah-rumah warga lain di Kampung Tongkol, merupakan milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) atau Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA).
Ia bahkan menyebut keberadaan got dan sistem serapan air membuat wilayah itu relatif aman dari banjir dan nyamuk.
“Di sini Alhamdulillah tidak… tidak pernah, tidak pernah kami sampai kehujan atau kebanjiran gitu,” ujarnya.
Ketua RT 07 RW 01 Kampung Tongkol, Saprudin, menceritakan bahwa kawasan ini pernah dibongkar besar-besaran pada 1989.
Namun, pada masa reformasi 1998, warga kembali menghuni lahan tersebut.
“Saya ingat ini kan tahun 1982, itu dulunya sudah ada pemukiman warga. Tahun 1989 pernah dibongkar. Kan kosong ya, sudah dibongkar, enggak ada pemukiman lagi. Zaman reformasi pada matok-matok, dibangun lagi,” ujarnya.
Saprudin menuturkan bahwa praktik jual beli bangunan marak dilakukan tanpa sepengetahuan RT, bahkan tanpa surat atau sertifikat resmi, karena tanah yang ditempati merupakan aset milik negara.
“Mereka tuh jual semua (bentuknya) bangunan, bukan tanah karena itu kan tanah PJKA. Jadi kalau mereka sudah bangun (lalu) bosan, semuanya dijual. Jadi mereka tuh jual beli pun tidak sepengetahuan kita (RT),” katanya.
Saprudin mengakui praktik jual-beli bangunan di Kampung Tongkol berlangsung secara diam-diam.
Transaksi terjadi hanya atas bangunan tanpa hak tanah dan sering kali tanpa pemberitahuan kepada RT.
“Pernah tuh warga, punya bangunan di kolong tol, dia jual-beli sama orang tapi tidak melalui saya. Pas dia meninggal, jadi rebutan. Saya enggak ada urusan. Kenapa? Jual-beli tadi itu saya tidak tahu dan tidak diberitahu,” ujarnya.
Kondisi ini kerap memicu sengketa warisan atau kepemilikan bangunan.
Saat ini, wilayah RT 07 mencakup sekitar 30 kepala keluarga, sebagian besar pendatang tinggal di pinggir rel atau kolong jalan tol.
Saprudin menyebut, bangunan-bangunan di Kampung Tongkol awalnya hanya berupa ruang berteduh sederhana tanpa dapur atau kamar mandi.
Namun, seiring waktu, warga memperluas dan menambah fasilitas hingga menjadi rumah permanen.
“Itu di atas rel ada bangunan dan dikontrakin. Awalnya di bawah, tapi lama-lama di atas rel juga dibikin kamar, dinding, dapur. Jadi berkembang begitu aja,” katanya.
Meski begitu, ia menegaskan keterbatasan peran pengurus lingkungan, tidak bisa menindak karena urusan PJKA.
“Itu seharusnya urusan PJKA. Tanah mereka. Kalau kita kan nggak bisa apa-apa. Pemda juga terbatas,” ucapnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
10 Saat Jakarta Tak Pernah Siang di Kampung Tongkol… Megapolitan
/data/photo/2025/08/07/68940d653c154.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)