6 Antre Haji di Indonesia Sampai Kakek-Nenek, Apa Solusinya? Nasional

6
                    
                        Antre Haji di Indonesia Sampai Kakek-Nenek, Apa Solusinya?
                        Nasional

Antre Haji di Indonesia Sampai Kakek-Nenek, Apa Solusinya?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Selain uang, waktu boleh jadi merupakan hal yang paling sulit untuk ‘ditaklukkan’ seseorang yang ingin menunaikan ibadah haji.
Bagaimana tidak, meski sudah punya uang cukup, seseorang tetap harus menunggu untuk waktu yang tidak sebentar untuk dapat terbang ke tanah suci, bahkan hingga puluhan tahun.
Tak heran, banyak
jemaah haji Indonesia
yang baru bisa berangkat ke Mekkah ketika sudah menginjak usia senja, salah satunya adalah Marni seorang nenek asal Lebak, Banten, yang baru bisa berangkat haji saat usianya menginjak 90 tahun.
Marni butuh waktu 11 tahun sejak mendaftar sebagai calon jemaah haji pada 2014 lalu sebelum akhirnya berangkat haji pada 2025.
Penantian Marni tak berawal dari saat pendaftaran, tapi jauh lebih lama dari itu. Sebagai tukang pijat, tentu sulit mendapat uang setor haji yang saat dia mendaftar besarannya mencapai Rp 25 juta.
Untuk mengumpulkan uang setoran haji, Marni harus mengumpulkan selama bertahun-tahun. Jika merujuk pengakuan Marni, ia mulai bekerja sebagai tukang pijat sejak 1980.
Dengan pekerjaan yang jasanya tak setiap hari dipakai, Marni konsisten menabung, menyisihkan uang untuk setoran awal haji.
Dari 1980 sampai 2014, kurang lebih 34 tahun menabung Marni baru bisa bayar setoran awal.
Total, Marni butuh waktu 45 tahun untuk menabung dan menunggu keberangkatan ke Tanah Suci.
Marni tak sendiri, kisah lain soal lansia naik haji ini juga diceritakan oleh nenek Marhamah yang berusia lebih dari satu abad.
Nenek Marhamah berusia 104 tahun saat berangkat ke Tanah Suci. Ia terdaftar sebagai jemaah tertua dari Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur pada musim haji 2025.
Usianya yang telah uzur ini menjadi keuntungan bagi Marhamah dari sisi masa antre, karena Marhamah baru mendaftar haji pada 2019 dan langsung berangkat setelah enam tahun mengantre.
Jika merujuk daftar antrean, Marhamah harusnya berangkat di tahun 2045. Tapi karena telah sepuh, dia menjadi prioritas untuk diberangkatkan.
“Tapi alhamdulillah bisa berangkat tahun ini,” ujar Ayamah, anak kandung Marhamah, Kamis (1/4/2025).
Kisah lansia Indonesia naik haji ini semakin santer terdengar karena antrean haji yang semakin tak terkira.
Mereka yang mengantre keburu jadi kakek-nenek untuk menunaikan haji.
Data Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) Kementerian Agama RI menunjukkan, pada haji 2025, jemaah tertua yang berangkat dari Indonesia sudah berusia 108 tahun.
Dari 203.149 jemaah haji yang berhasil tiba di Arab Saudi, 44.085 jemaah di antaranya juga masuk kategori lanjut usia atau berusia di atas 65 tahun.
Kementerian Agama RI mencatat 2025, ada sekitar 5,4 juta jemaah haji asal Indonesia mengantri untuk kuota yang jumlahnya mencapai 210.000 per tahun.
Antrean panjang ini bervariasi, tergantung tempat daerah kantor wilayah terdaftar, paling cepat 11 tahun, tapi ada juga yang harus menunggu hingga 47 tahun.
Lama antre ini tergantung pada jumlah pendaftar karena tiap daerah mempunyai jumlah pendaftar yang berbeda.
Berdasarkan data Kemeng, masa antre paling singkat berada di Kabupaten Maluku Barat Daya, itu pun harus menunggu selama 11 tahun.
Sedangkan yang paling lama ada di Sulawesi Selatan, di Kabupaten Bantaeng dengan masa tunggu 47 tahun lamanya.
Ada sejumlah langkah yang dilakoni pemerintah untuk mempersingkat masa tunggu, salah satunya adalah melobi Arab Saudi untuk menambah kuota haji bagi Indonesia.
Namun, selain mengharap pada Arab Saudi, pemerintah lewat Badan Penyelenggara (BP) Haji juga memikirkan cara lain, yakni menertibkan data jemaah.
Wakil Kepala BP Haji Dahnil Anzar menggunakan istilah data “batu”, merujuk pada data berisi nama calon jemaah yang ikut dalam antraan, tapi wujud orangnya tidak ada.
Menurut dia, indikasi data batu ini adalah modus operandi para rente di musim haji.
Nama orang yang mengantre tanpa wujud ini akan menjadi ladang bisnis bagi mereka yang culas, sebut saja oknum penyelenggara haji.
Nama tanpa tuan itu nantinya akan mengisi daftar tunggu, kemudian akan dijual ketika ada yang menginginkan jalur instan.
“Itu saya bilang praktik rente, orang sengaja ada kekacauan data itu supaya bisa melakukan praktik manipulasi di situ,” kata Dahnil kepada
Kompas.com 
di Kantor BP Haji, Kamis (3/7/2025).
Untuk membersihkan praktik rente ini, BP Haji akan memperbaiki sistem secara
realtime
untuk proses data daftar tunggu haji.
Harapannya, ketika data batu telah disingkirkan, kekosongan tempat akan diisi oleh jemaah yang berhak dan mengurangi masa antrean.
Usulan lain untuk memangkas masa antri haji ini datang dari Parlemen, yakni dengan cara mengambil jatah kuota haji negara lain yang tidak terpakai.
Wakil Ketua Komisi VIII Ansory Siregar mengatakan, cara itu perlu dicoba setelah dia meneliti sejumlah negara di Asia Tengah dan Asia Tenggara yang menyia-nyiakan kuota haji mereka.
Ia menyebutkan, negara-negara seperti Uzbekistan, Kazakhstan, dan Kyrgyzstan setiap tahunnya mendapatkan 90.000 kuota haji, tetapi yang terpakai tidak sampai 50 persen.
Menurut Ansory, pemerintah semestinya bisa menindaklanjuti diplomasi yang dilakukan, dengan melobi negara-negara tersebut agar mau bekerja sama memanfaatkan sisa kuota tersebut.
“Kalau sekarang ini ada kuota mereka itu sekitar 90.000, yang dipakai cuma 40.000. Sehingga masih ada kuota dari sana 50.000 yang belum dipakai,” kata Ansory di Kompleks Parlemen, Selasa (15/7/2025).
Selain negara-negara Asia Tengah itu, negara tetangga seperti Filipina dan Timor Leste juga memiliki kuota haji yang tidak dimanfaatkan secara penuh.
“Filipina masih ada 3.000 kuota yang tidak dipakai. Timor Leste juga ada. Ini harus kita manfaatkan,” ucap Ansory.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini berpandangan, masa antre jemaah haji dari Indonesia dapat berkurang bila pemerintah menjajaki kerja sama dengan negara-negara tersebut.
Ansory menambahkan, teknis pemberangkatan dan pemulangan jamaah yang memanfaatkan kuota negara lain bisa dibicarakan lebih lanjut, ketika kesepakatan sudah terjalin.
“Apakah orang Indonesia ini pergi ke Kazakhstan baru ke Jeddah, atau imigrasi dari Asia Tengah itu datang ke Indonesia gitu, pada fast track gitu. Itu teknis saja tuh. Tapi yang jelas kita bisa memakai kuota mereka itu. Sayang enggak dipakai, 50.000 kan,” kata dia.
Senada, Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang menyebutkan bahwa usul pemanfaatan kuota negara sahabat bisa diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
“Nanti kita mungkin saja akan merevisi UU Haji, yang bisa memungkinkan kita mengirimkan jemaah bersama dengan negara-negara sahabat yang tidak menghabiskan kuotanya,” kata Marwan di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (7/1/2025).
Marwan menekankan, upaya ini penting untuk mengurai masa tunggu jemaah yang mencapai puluhan tahun, terlebih banyak di antara mereka yang sudah lanjut usia dan khawatir tidak memenuhi syarat istithaah saat jadwal keberangkatan tiba.
“Kalau mereka menunggu daftar tunggu itu, ya keburu mungkin almarhum. Usianya tidak sampai di situ lagi. Ini yang kita butuhkan, cara mengurainya,” ujar politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.