Festival Jamu Ajak Anak Muda Selamatkan Aksara Nusantara yang Hampir Punah
Editor
KOMPAS.com
– Permainan tradisional dan
aksara Nusantara
menjadi sorotan utama dalam Acaraki Jamu Festival edisi Juli 2025.
Ketua Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia (
GP Jamu
), Jony Yuwono, menyampaikan bahwa festival ini bertujuan menjembatani warisan budaya dengan generasi muda melalui pendekatan yang menyenangkan dan relevan.
“Permainan tradisional dan aksara Nusantara merupakan bagian dari warisan bersama yang kaya makna. Melalui Acaraki Jamu Festival, kami berharap dapat menjembatani warisan tersebut dengan generasi masa kini lewat pendekatan yang menyenangkan, namun tetap sarat pesan budaya,” ujar Jony dalam rilisnya, Selasa (29/7/2025).
Festival ini diikuti sekitar 800 peserta, termasuk 100 laskar jamu gendong.
Para peserta diajak menyaksikan langsung perjuangan para penggendong jamu yang setiap hari membawa bakul seberat 5–10 kg dan menempuh jarak hingga 10 km.
“Kita ingin peserta bisa melihat perjuangan mereka. Jadi bukan hanya melihat dari sisi jamu yang mereka jajakan, tetapi semangat dalam mereka membuat dan menggendong jamu,” jelas Jony.
Jamu diangkat tidak sekadar sebagai produk, tetapi sebagai bagian dari filosofi hidup yang selaras dengan nilai-nilai lokal seperti kesederhanaan, keberlanjutan, dan kedekatan sosial.
Festival ini sekaligus menegaskan posisi jamu sebagai warisan budaya tak benda yang telah diakui UNESCO.
Program lain dalam festival ini adalah “Petisi Aksara Nusantara” yang mengajak pengunjung mencetak nama mereka dalam aksara daerah, seperti Jawa, Sunda, Batak, dan Bali.
Pengunjung juga menandatangani petisi dukungan terhadap pelestarian aksara lokal.
Jony mengingatkan,
aksara tradisional
kini berada di ambang kepunahan karena minimnya pengguna.
Ia menyebut keberlanjutan budaya bisa terancam jika aksara hilang, karena banyak manuskrip kuno seperti resep jamu, legenda, dan kisah pewayangan ditulis menggunakan aksara tersebut.
“Contoh, apa bedanya sih kimono dengan kebaya? Kenapa orang lebih mau memakai kimono dibanding kebaya? Bahkan anak-anak muda kita lebih mengenal Joseon dibandingkan Majapahit atau Sriwijaya. Padahal sama-sama kuno,” katanya.
“
Aksara tradisional
kita sekarang ada di ambang kepunahan. Penggunanya hanya orangtua, dan kalau mereka tiada, keberlanjutan itu hilang. Padahal di sanalah tertulis resep jamu, cerita, dan sejarah budaya kita,” lanjutnya.
Acara ini juga diisi hal-hal seru. Seperti di area “Estafet Games & Karnaval Permainan Nusantara”.
Di sana, pengunjung dari berbagai kalangan diajak memainkan kembali permainan rakyat seperti bola bekel, gasing, ketapel, dan tumpuk batu.
Selain menghadirkan nostalgia, permainan ini mengandung nilai ketekunan, sportivitas, kerja sama, hingga konsentrasi.
Budaya dan Kreativitas, Kunci Menuju Ekonomi Bernilai Tinggi
Festival ini juga mendorong integrasi budaya dengan sektor ekonomi kreatif. Menurut Jony, tanpa kreativitas, warisan budaya seperti jamu, batik, atau aksara akan sulit berkembang di tengah masyarakat modern.
“Kita lihat budaya-budaya Indonesia, mau itu jamu, batik, atau aksara, tidak akan bertahan kalau tanpa kreativitas. Padahal nilai ekonominya sangat tinggi,” ujarnya.
Ia berharap, festival yang diselenggarakan GP Jamu dengan Acaraki ini bisa menghidupkan kembali nilai-nilai budaya lokal di tengah masyarakat modern.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Festival Jamu Ajak Anak Muda Selamatkan Aksara Nusantara yang Hampir Punah Regional 29 Juli 2025
/data/photo/2025/07/29/6888b8f0a2578.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)