Cerita Sopir Bus AKAP: Meski Jarang Pulang, Tak Masalah asal Bisa Kuliahkan Anak
Tim Redaksi
SURABAYA, KOMPAS.com
– Muhammad Zardi (50) baru bangun dari istirahatnya di “kandang macan”, sebutan bagi ruangan di baris jok paling belakang penumpang yang biasanya digunakan sopir untuk tidur.
Kebiasaan ini sudah dilakoni Zardi selama bertahun-tahun selama menjadi sopir bus. Ia jarang pulang ke rumah dan jarang bertemu keluarganya.
Dia lebih sering melihat wajah penumpang dan kru, atau orang-orang yang berlalu lalang di terminal ketimbang melihat wajah anak dan istrinya.
Pria asal Malang ini juga lebih sering menenteng kantong plastik berisi nasi bungkus yang dibeli dari warung sederhana. Rindu masakan istri, itu sudah pasti.
Baginya, rindu keluarga menjadi teman perjalanan setiap hari sejak menekuni pekerjaan sebagai sopir mulai tahun 1994.
“Biasanya satu sampai dua bulan tidak ketemu keluarga,” kata Zardi dengan nada pasrah.
Zardi menyadari, jarang bertemu keluarga merupakan salah satu risiko yang harus ditanggung setiap sopir bus. Apalagi, bus tempat dia bertugas jurusan
Surabaya
-Ngawi.
“Betul jarang kumpul keluarga. Kalau sudah tugas jalan itu tidak bisa pulang karena harus jalan sesuai jadwal yang keluar. Seperti kemarin Hari Raya tidak pulang sama sekali,” ujarnya.
Bus yang dia kendarai tidak melewati jalur Malang, kota di mana keluarganya menanti di rumah.
Oleh karena itu, dia sulit curi-curi waktu bertemu keluarga saat ngetem di tengah jalur.
“Biasanya kalau ada kesempatan libur, kita pulang. Selama ada jadwal ya tetap jalan. Karena saya sudah statusnya sopir batangan, istilahnya bus ini ya sopirnya saya saja,” ungkapnya.
Beruntungnya, zaman yang serba digital ini membantunya sedikit mengobati kerinduannya terhadap anak istri. Mengirim pesan teks atau
video call
baginya cukup untuk sekadar memberi kabar.
Kalau kerinduannya sudah memuncak, barulah dia mengambil cuti di tengah padatnya jam operasional bus. “Kangen,” katanya.
Meski jarang bertemu keluarga, Zardi tetap memantau perkembangan keenam anaknya, terutama masalah pendidikan. Tiga anaknya kini sudah menempuh pendidikan kuliah.
Rasa haru bercampur bangga tak terbendung. Tanpa dia sadari, bulir air matanya yang tertahan jatuh juga.
“Mau bagaimana pun, saya seorang ayah pasti menginginkan anaknya berhasil semua. Saya juga berharap keluarga bisa hidup bahagia,” tuturnya.
Perasaan yang sama juga dirasakan oleh sopir bus asal Yogyakarta, Budi Santoso. Dia sopir bus Sugeng Rahayu yang melaju dari Surabaya menuju Bandung.
Ratusan kilometer dia tempuh setiap hari selama 10 tahun terakhir. Wajar bila jarang bertemu dengan keluarga, apalagi tak melewati jalur lokasi tempat tinggalnya.
“Sudah tidak ketemu satu minggu setelah libur, kangen ke anak ya sudah pasti. Namanya juga tuntutan kerja,” ujarnya.
Dia juga bersyukur sekarang bisa bebas menghubungi keluarganya lewat telepon atau pesan singkat selama ada sinyal.
“Susahnya kalau melewati daerah hutan kita tidak bisa komunikasi karena tidak ada sinyal dan warung juga jauh,” katanya.
Pada usianya yang tak lagi muda, Budi berencana pensiun sebagai sopir bus. Namun, sekarang ia tengah mengumpulkan modal untuk biaya di masa tua dengan membuka usaha kecil-kecilan.
Kulitnya sudah menitip, keriput di wajahnya tidak dapat disamarkan. Namun, hatinya bangga sebagai sopir yang tak pernah merasakan duduk di bangku perkuliahan tetapi mampu mengantarkan kedua anaknya menjadi sarjana.
“Bangga sekali pastinya. Kita bekerja tanpa gelar bisa menyekolahkan anak itu terharu. Semoga semuanya sehat dan bahagia. Dan saya bisa bekerja tetap sehat,” ujar dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Cerita Sopir Bus AKAP: Meski Jarang Pulang, Tak Masalah asal Bisa Kuliahkan Anak Surabaya 19 Juli 2025
/data/photo/2025/07/18/687a2e0752ccd.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)