Perjalanan Lenong Betawi Menjadi Ikon Budaya

Perjalanan Lenong Betawi Menjadi Ikon Budaya

Bahasa yang digunakan adalah dialek Melayu Betawi yang khas, kadang dikombinasikan dengan bahasa Indonesia agar lebih mudah dimengerti oleh masyarakat luar Betawi.

Musik pengiringnya adalah Gambang Kromong, sebuah ensambel musik khas Betawi yang kaya akan alat musik tradisional seperti gambang, kromong, gong, kendang, kecrek, serta alat musik berdawai Tionghoa seperti tehyan, kongahyan, dan sukong.

Musik ini bukan hanya sekadar pengiring, tapi juga menjadi jiwa dari pertunjukan, yang memberikan ritme, suasana, dan isyarat perubahan babak atau emosi dalam cerita. Alunan musik yang rancak seringkali menjadi daya tarik tersendiri, membuat pertunjukan lenong hidup dan penuh semangat.

Dalam hal isi dan bentuk, Lenong memiliki dua jenis utama yaitu Lenong Denes dan Lenong Preman. Lenong Denes biasanya menampilkan cerita berlatar belakang kerajaan atau kehidupan kaum bangsawan.

Bahasa yang digunakan pun lebih halus dan formal, dengan busana yang menggambarkan kemegahan era kerajaan. Tema cerita dalam Lenong Denes sering mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keadilan, dan kesetiaan.

Sebaliknya, Lenong Preman menyoroti kehidupan masyarakat sehari-hari seperti pedagang, petani, penjahit, hingga tukang becak. Bahasa yang digunakan lebih santai dan kasual, bahkan kerap disisipi humor kasar yang justru menjadi daya tarik karena terasa begitu dekat dengan realitas penonton.

Dalam Lenong Preman inilah sering ditemukan sindiran tajam terhadap pejabat, tukang tipu, atau tokoh-tokoh yang rakus dan suka menindas. Meski disampaikan dengan gaya guyonan, pesan moral yang dibawa tetap kuat dan membekas di hati penonton.

Teknis pementasan Lenong pun mengalami perkembangan seiring waktu. Jika pada masa lalu pertunjukan bisa berlangsung semalam suntuk, kini pertunjukan yang direvitalisasi biasanya berdurasi dua hingga tiga jam agar lebih sesuai dengan kebiasaan penonton modern.

Proses kreatifnya melibatkan penulis naskah dan sutradara, yang kadang juga merangkap sebagai pimpinan kelompok teater Lenong. Mereka bertugas menyusun alur cerita, memilih tema yang aktual, membagi peran, dan mengarahkan para aktor agar bisa menyampaikan cerita dengan ritme yang dinamis.

Meski demikian, improvisasi tetap menjadi bagian penting dalam pementasan, karena karakter aktor Lenong sering dituntut untuk cepat menanggapi reaksi penonton, menciptakan momen-momen spontan yang segar dan autentik.

Lenong Betawi bukan sekadar pertunjukan teater rakyat, melainkan warisan budaya yang menyuarakan suara-suara kecil dalam masyarakat dengan cara yang ringan namun mengena. Di tengah arus modernisasi dan tantangan digitalisasi yang makin deras, pelestarian Lenong menjadi tanggung jawab bersama agar kesenian ini tidak hilang ditelan zaman.

Upaya revitalisasi melalui festival, pelatihan seni untuk generasi muda, hingga penayangan ulang melalui platform digital menjadi kunci penting agar Lenong tetap hidup dan relevan. Karena sejatinya, Lenong adalah cermin kehidupan masyarakat Betawi yang penuh warna, tawa, perjuangan, dan cinta pada nilai-nilai kebaikan yang disampaikan dengan cara yang merakyat dan menghibur.

Penulis: Belvana Fasya Saad