Jew, Rumah Bujang Suku Asmat

Jew, Rumah Bujang Suku Asmat

Menariknya lagi, struktur dan rangka jew sama sekali tidak menggunakan paku besi. Suku Asmat mengandalkan tali rotan sebagai pengikat sambungan antar kayu dari struktur rangka jew. Meski demikian, kekuatan bangunan jew tidak perlu diragukan lagi.

Ukuran panjang jew bervariasi menyesuaikan jumlah tungku yang ada di dalamnya. Hingga zaman modern, semua ukuran dan proses pembangunan jew masih diatur dalam tradisi kehidupan suku Asmat. Bahkan, hampir setiap aspek kehidupan suku Asmat berkaitan dengan keberadaan jew.

Terdapat beberapa aturan terkait rumah tradisional ini, salah satunya posisi jew harus dibangun menghadap matahari terbit atau sejajar aliran sungai. Sementara itu, posisi rumah warga berada di samping atau bagian belakang jew.

Posisi jew dianggap sebagai penanda, simbol lingkaran hidup, cara berkomunikasi, dan kebersamaan hidup suku Asmat. Terdapat beberapa benda keramat yang disimpan di dalam jew, seperti tombak, panah berburu, hingga noken (sejenis tas anyam khas Papua).

Jew biasanya digunakan sebagai tempat berkumpul bagi para pemuka adat dan pimpinan desa suku Asmat. Mereka mengadakan rapat desa, menentukan strategi perang, pesta adat, menyambut tamu, dan menggelar segala kegiatan bersifat tradisi di sini.

Para laki-laki suku Asmat juga menjadikan jew sebagai rumah inisiasi terkait cara berperang, memainkan ltifa, mencari ikan, hingga mempelajari kisah tentang leluhur. Dalam bahasa Asmat, jew berarti roh atau spirit, sehingga rumah bujang ini diartikan sebagai sukma atau jiwa yang menghidupkan dan menggerakkan kehidupan suku Asmat.

Jew dapat digunakan oleh seluruh penduduk, terutama kaum pria yang dianggap sebagai pemimpin keluarga. Sementara itu, kaum perempuan hanya boleh masuk ke dalam jew ketika ada pesta atau ritual adat.

Penulis: Resla