PIKIRAN RAKYAT – Selama lebih dari 15 tahun mengajar, Raj Raghunathan pernah mengalami berbagai momen memalukan. Salah satunya terjadi ketika mikrofon yang terpasang di bajunya tidak dimatikan saat ia pergi ke kamar mandi. Meskipun tidak fatal, kejadian itu membuatnya merasa cukup maliu.
Rasa malu dan rasa bersalah biasanya muncul ketika seseorang melanggar norma sosial atau moral. Contohnya, saat tertangkap mencontek atau gagal dalam ujian. Emosi ini berkaitan erat dengan kekhawatiran akan pandangan negatif orang lain terhadap kesalahan kita.
Meskipun tidak nyaman, rasa malu dan rasa bersalah memiliki fungsi yang positif. Keduanya mendorong seseorang untuk bertindak lebih baik, bertanggung jawab, dan memperbaiki kesalahan. Dengan kata lain, peduli pada opini orang lain tidak selalu buruk.
Namun, banyak orang justru terlalu memikirkan hal tersebut. Studi menunjukkan bahwa kita sering melebih-lebihkan seberapa besar perhatian orang lain terhadap kesalahan kita. Akibatnya, kita menjadi kurang spontan dan sulit menikmati hidup secara utuh.
Kabar baiknya mayoritas dari kita mulai menyadari masalah ini. Dalam kelas kebahagiaan yang diajarkan oleh Raghunatan, para siswa secara konsisten menyebut keinginan terbesar mereka adalah belajar berhenti memikirkan apa yang dipikirkan orang lain.
Raghunatan kemudian merumuskan tiga prinsip penting untuk membantu mengatasi kekhawatiran tersebut
Fokus Pada Orang Lain, Bukan Diri Sendiri
Ilustrasi Korban Perundungan freepik.com
Seperti dilansir Psychology Today, manusia adalah makhluk sosial. Sebagian besar aktivitas otak manusia berkisar pada hubungan dengan sesama manusia. Kebahagian sangat bergantung pada kualitas hubungan interpersonal. Studi menunjukan bahwa setiap individu dalam 10 persen kelompok paling bahagia memiliki setidaknya satu hubungan dekat. Artinya, hubungan yang kuat bukanlah bonus, melainkan kebutuhan. Studi lain menunjukan bahwa kebiasan sehari hari kita membutuhkan interaksi dengan sesama.
Jadi, memang masuk akal jika kita khawatir terhadap pendapat orang lain. Kita ingin dipandang baik oleh mereka agar bisa membina hubungan. Kekhawatiran tentang pendapat orang lain muncul dari ketakutan kehilangan teman atau kedekatan. Ketakutan ini dalam beberapa kasus bisa berguna. Seperti disebutkan sebelumnya, rasa malu bisa memotivasi kita untuk bersikap lebih perhatian dan pantas, yang pada akhirnya membuat orang lebih menyukai kita.
Namun, jika ketakutannya terlalu besar, hal itu bisa menjadi kontra produktif. Terlalu sering khawatir apakah orang lain menyukai kita bisa memicu kecemasan, menyebabkan perilaku yang haus perhatian dan rasa tidak aman, yang justru membuat orang menjauh. Ini bisa menciptakan siklus buruk, yang pada akhirnya menyebabkan hilangnya rasa hormat terhadap diri sendiri dan keterasingan sosial.
Salah satu cara untuk memutus siklus ini adalah dengan bersikap berpusat pada orang lain, bukan pada diri sendiri. Jika kita terus-menerus bersikap baik dan perhatian, maka kita akan lebih sedikit khawatir terhadap pendapat orang lain. Ada dua alasannya. Pertama, orang lain akan lebih menyukai kita secara alami jika kita baik dan perhatian; jadi, kita tidak perlu terlalu khawatir.
Kedua, meskipun tindakan kita disalahpahami atau berujung pada konsekuensi negatif, kita akan tahu bahwa niat kita baik. Ini akan memberikan kebebasan mental untuk tidak terlalu peduli terhadap pendapat orang lain.
Apakah layak untuk menjadi lebih berorientasi pada orang lain hanya agar tidak terlalu khawatir terhadap pendapat orang lain? Kabar baiknya: bersikap berpusat pada orang lain tidak hanya meningkatkan kebahagiaan, tetapi juga kesuksesan. Secara spesifik, kita lebih mungkin sukses jika kita adalah pemberi (giver), bukan pengambil (taker).
Pahami bahwa Orang Terluka Bisa Menyakiti Orang Lain
Orang yang sedang terluka cenderung melukai orang lain. Meskipun kita sudah berusaha bersikap baik dan pengertian, tetap saja ada kemungkinan mendapat penilaian negatif. Ini bukan cerminan kegagalan kita, melainkan menunjukkan kondisi emosional orang lain. Memahami hal ini dapat menumbuhkan empati dan mengurangi kekhawatiran terhadap penilaian mereka
Namun prinsip ini tetap harus dijalankan dengan kehati-hatian. Jangan sampai dijadikan pembenaran untuk mengabaikan kesalahan diri sendiri. Introspeksi tetap penting. Tanyakan pada diri sendiri: apakah saya benar-benar sudah bersikap baik dan bijaksana, atau saya sedang menipu diri sendiri?
Latih Kembali atas Fokus Pikiran
Terkadang, penilaian negatif dari orang lain memang benar dan beralasan. Tetapi, itu tidak berarti kita harus terus-menerus merasa malu atau bersalah. Dalam tradisi Katolik, misalnya, perasaan seperti itu bisa diredakan lewat pengakuan dosa. Bagi yang tidak menjalani praktik tersebut, alternatifnya adalah melatih kontrol terhadap perhatian.
Kontrol perhatian berarti kemampuan untuk memilih hal apa yang menjadi fokus, dan mengabaikan hal-hal yang tidak bermanfaat. Salah satu metode terbaik untuk melatihnya adalah dengan mindfulness (kesadaran penuh). Meski tidak semua orang cocok dengan metode ini, latihan mindfulness terbukti meningkatkan kesadaran diri dan kemampuan mengatur fokus pikiran. Satu kekurangannya adalah butuh waktu cukup lama untuk melihat hasilnya. Tapi waktunya sepadan, dan semakin cepat dimulai, semakin baik. Manfaat sampingan lainnya adalah meningkatnya kesadaran diri, yang bisa membantu mencegah penyangkalan diri.
Jika ingin mencoba latihan mindfulness, berikut ini adalah latihan yang disebut presence practice yang dikembangkan oleh sahabat baik Raghunathan, Vijay Bhat, untuk kursus Coursera tentang kebahagiaan. Latihan ini sangat bermanfaat terutama jika hidup terasa penuh tekanan dan belum pernah mencoba mindfulness sebelumnya.
Bagi yang kurang nyaman dengan meditasi, cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan langsung melakukan tindakan nyata. Seperti yang dikatakan Goethe, “tindakan memiliki keajaiban, kekuatan, dan keanggunan.” Bertindak membuat kita fokus pada pencapaian tujuan, bukan pada penilaian orang lain.
Jenis tindakan yang disarankan adalah kegiatan yang memperkuat empati dan kebaikan. Misalnya, melakukan kebaikan acak, menulis surat rasa syukur, atau terlibat dalam aktivitas yang menimbulkan perasaan “flow” seperti yang dijelaskan Mihaly Csikszentmihalyi, yakni kondisi ketika seseorang larut dalam aktivitas yang mereka nikmati. (Rafi Majid Padilah/PKL Polban). ***
