PIKIRAN RAKYAT – Bagaimana cara Anda untuk tetap tenang di tengah-tengah krisis? Apa yang orang-orang butuhkan untuk menjadi bahagia? Kaisar Romawi Marcus Aurelius sering kali dikutip di media online untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Orang yang dulu berkuasa itu lebih memilih menjadi seorang filsuf.
“Lihatlah ke dalam diri Anda. Di dalam diri Anda terdapat sumber kebaikan, dan kebaikan itu akan terus memancar, jika Anda mau menggalinya.”
Pernyataan-pernyataan bijak seperti ini dapat ditemukan di buku Meditations karya Kaisar Romawi Marcus Aurelius (121-180 M). Ia tidak pernah bermaksud untuk menerbitkan tulisan-tulisannya ini, karena ia menulisnya semata-mata untuk dirinya sendiri. Namun, karya ini telah menjadi salah satu tulisan paling banyak dibaca setelah Alkitab dan Al-Quran. Sebuah bestseller, bisa dibilang, yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di seluruh dunia.
Saat ini dikenal sebagai raja filsuf, Marcus Aurelius berkuasa pada masa yang dilanda krisis dan bencana. Ia naik takhta pada tahun 161 M, beberapa tahun sebelum Perang Marcomanni (166-180 M) — Marcomanni adalah suku-suku Jerman — yang akan menggoyahkan Kekaisaran Romawi hingga ke akar-akarnya. Selain itu, ia menghadapi masalah ekonomi, ketegangan sosial, dan penyebaran Wabah Antonine, suatu bentuk cacar, di seluruh wilayah kekuasaannya.
“Anda punya kekuatan untuk mengontrol pikiran Anda, bukan mengontrol kejadian-kejadian tak terduga”
Ketenangan batin — itulah salah satu prinsip dasar Marcus Aurelius, yang merupakan pengikut setia aliran Stoik, sebuah aliran filsafat kuno yang didirikan oleh filsuf Yunani Zeno dari Citium pada tahun 300 SM.
Marcus Aurelius ingin menjadi penguasa yang baik, tapi pemerintahan yang baik itu sebenarnya seperti apa?
Pertanyaan itu, yang masih relevan sampai sekarang, menjadi perhatian besar baginya, sebagaimana tercermin dalam karyanya Meditations.
Namun, rekan-rekannya pada masa itu tidak pernah membaca karya-karyanya, menurut arkeolog Marcus Reuter, direktur Rheinisches Landesmuseum di Trier. “Orang Romawi juga tidak pernah memandangnya sebagai raja filsuf. Karya-karyanya tidak pernah dipublikasikan semasa hidupnya. Dia menulis untuk dirinya sendiri, dalam keheningan kamarnya pada malam hari.”
Aurelius baru mendapat julukan raja filsuf ketika meditations dirilis pada abad ke-15 atau ke-16.
Seperti dilansir DW, Reuter dan sejarawan Viola Skiba, direktur Stadtmuseum Simeonstift di Trier, telah mengkurasi pameran bersama di masing-masing institusi mereka tentang Marcus Aurelius, yang akan berlangsung dari 15 Juni hingga 23 November 2025. Skiba mengatakan bahwa tema pameran tersebut ternyata lebih relevan daripada yang mereka perkirakan.
Pertanyaan tentang seperti apa kepemimpinan yang baik menjadi semakin mendesak, terutama di tengah krisis dan polarisasi seperti sekarang. Namun, pada saat yang sama, pertanyaan ini bukanlah hal yang baru — pertanyaan ini setua sejarah manusia itu sendiri, dan telah menjadi perhatian utama sejak zaman kuno.
Donald Trump “tidak layak menjadi panutan”
Ilustrasi Orang Melakukan Demonstrasi freepik.com
Menurut Marcus Aurelius, cara membedakan pemerintahan yang baik adalah: “Pada dasarnya, hal ini didasarkan pada empat kebajikan utama dari zaman kuno,” ucap Skiba. Nilai-nilai luhur tersebut meliputi kebijaksanaan, keadilan, kehati-hatian, dan kesederhanaan.
Konsep utama adalah “memiliki orientasi terhadap kepentingan bersama,” melakukan apa yang dapat menguntungkan seluruh komunitas. “Inilah yang dapat membedakan baik dan buruknya sebuah pemerintahan menurut [filsuf Yunani] Aristoteles.”
Reuter menambahkan bahwa Marcus Aurelius kemungkinan besar akan mengklasifikasikan Donald Trump ke dalam kategori pemimpin yang buruk dan tidak layak untuk menjadi panutan.
Namun tentu saja, Marcus Aurelius merupakan produk dari zamannya, yang tumbuh di dalam struktur sosial zaman kuno. “Saat itu ada perbudakan, dan bahkan seorang Marcus Aurelius pun tidak ingin menghilangkannya,” ucap Reuter. Kekaisaran juga tidak mempertanyakan bahwa ada orang yang memiliki dan tidak memiliki hak sipil Romawi, atau bahwa perempuan tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki.
Dari perspektif saat ini, mungkin juga terasa aneh untuk menganggap seorang kaisar yang melancarkan perang brutal sebagai sosok yang mulia. “Menurut standar kuno, kaisar diharapkan untuk memastikan keamanan kerajaan dan melindungi penduduknya — bahkan dengan cara yang sangat brutal jika diperlukan,” kata Reuter.
“Ia terlibat secara intensif dalam kasus-kasus di pengadilan. Ia berupaya untuk mengeluarkan putusan yang adil, dan selalu mengutamakan kepentingan negara,” tambah Reuter.
Pembangunan Porta Nigra di Trier — yang kini menjadi landmark terkenal kota tersebut — juga dapat ditelusuri kembali ke masa Marcus Aurelius. Bangunan ini merupakan bagian dari tembok kota yang dibangun oleh Aurelius untuk melindungi warganya.
“Kesederhanaan itu dibutuhkan untuk kehidupan yang bahagia”
Ilustrasi Orang Bahagia freepik.com
Ungkapan-ungkapan seperti di atas mungkin terdengar seperti ejekan yang keluar dari mulut seorang kaisar kaya raya, tetapi sebenarnya dimaksudkan dengan tulus. Memang, Marcus Aurelius menjalani gaya hidup yang cukup sederhana dan bahkan menjual barang-barang rumah tangga kekaisaran — aset pribadinya — dalam lelang ketika negara mengalami krisis keuangan.
“Setahu saya, tidak ada Kaisar Romawi sebelum atau setelahnya yang melakukan itu,” ucap Reuter.
Marcus Aurelius juga ternyata menghabiskan banyak waktu memikirkan arti dari kehidupan, yang juga dianggap sebagai alasan kenapa banyak anak muda di era ini yang memiliki ketertarikan terhadap Marcus Aurelius dan tulisannya. Menurut Reuter, “Meditations” adalah harta karun kecil berisi solusi yang mengatasi hampir setiap situasi dalam hidup.”
Reuter juga mengucapkan bahwa tulisan-tulisan Marcus Aurelius tidak cocok untuk dibaca dari awal hingga akhir, tetapi sangat cocok untuk dibaca secara acak untuk mencari inspirasi. Tulisan-tulisannya, pada akhirnya, hanyalah pemikiran pribadi seseorang yang menghabiskan waktu untuk memikirkan hal apa yang benar-benar penting dalam hidup. Jadi, tidak mengherankan jika kutipan dari orang Romawi bisa ditemukan di seluruh media sosial.
Pameran yang berfokus pada sosok sang kaisar ini akan diselenggarakan di Trier, dan berangkat dari minat masyarakat masa kini terhadap Marcus Aurelius serta isu-isu yang ia pikirkan. Pameran ini dirancang untuk menginspirasi pengunjung dari berbagai belahan dunia untuk merenungkan diri mereka sendiri, masyarakat, dan apa yang masih dapat dikatakan oleh seorang kaisar Romawi kuno kepada kita hari ini.
Atau, seperti yang dikatakan Skiba, “Setiap masyarakat berlandaskan pada individu, dan jika setiap orang mau mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan filosofis dan politis ini, maka masyarakat pun dapat berfungsi secara utuh sebagai satu kesatuan.” (Deviani Putri Azzahra/PKL Polban). ***
