Oleh karena itu, Tanam Sasi tidak hanya bersifat ekologis, tetapi juga spiritual dan moral. Hal ini membentuk ikatan emosional yang sangat kuat antara manusia dan alam, jauh melebihi pendekatan legal-formal yang sering kali bersifat kaku dan transaksional.
Menariknya, meskipun Tanam Sasi merupakan tradisi yang berakar pada budaya lokal dan nilai-nilai tradisional, semangatnya justru sangat relevan dengan pendekatan ilmu lingkungan modern. Konsep restorative ecology, resource rotation, hingga community-based natural resource management semuanya dapat ditemukan dalam struktur dan filosofi Sasi.
Bahkan, beberapa peneliti dan aktivis lingkungan kini mulai mengadopsi pendekatan ini sebagai model alternatif dalam pengelolaan kawasan konservasi. Dalam beberapa kasus, penerapan Sasi telah berhasil mengembalikan populasi ikan yang hampir punah, merehabilitasi hutan sagu yang rusak, dan menurunkan konflik sosial akibat perebutan sumber daya.
Ini membuktikan bahwa pendekatan berbasis budaya dan spiritual justru bisa menjadi solusi konkret dalam menjawab tantangan ekologis yang tak kunjung selesai di era industri modern.
Namun, keberlangsungan tradisi Tanam Sasi kini menghadapi tantangan yang tidak ringan. Tekanan dari luar, seperti masuknya perusahaan tambang, perkebunan skala besar, hingga aktivitas ilegal yang merusak ekosistem, menjadi ancaman serius terhadap kelestarian hutan dan laut yang dijaga dengan Sasi.
Selain itu, generasi muda Papua yang mulai terpapar pada nilai-nilai konsumtif dan modernisasi cepat, perlahan mulai menjauh dari akar tradisinya. Beberapa di antaranya menganggap Sasi sebagai sesuatu yang kuno dan tidak relevan dengan zaman.
Padahal, jika dikelola dengan pendekatan yang lebih modern dan dikemas secara edukatif, Tanam Sasi bisa menjadi kekuatan luar biasa untuk membangun kesadaran lingkungan sekaligus memperkuat identitas budaya masyarakat adat. Oleh karena itu, pelibatan generasi muda, pemangku kebijakan, dan institusi pendidikan menjadi sangat penting untuk menjaga napas panjang tradisi ini.
Upacara Tanam Sasi adalah bukti bahwa masyarakat adat Papua tidak pernah memisahkan diri dari alam. Mereka hidup dalam siklus yang saling menghidupi, dengan kesadaran bahwa kelestarian lingkungan adalah syarat utama untuk kelangsungan hidup bersama.
Dalam gerak lembut daun kelapa yang ditiup angin sasi, dalam heningnya hutan yang ditutup sementara, dan dalam suara tetua adat yang menyerukan larangan dengan penuh wibawa, tersimpan pelajaran besar tentang kebijaksanaan ekologis yang jauh melampaui usia tradisi itu sendiri.
Di tengah kerusakan lingkungan yang semakin meluas, dunia mungkin perlu berhenti sejenak dan belajar dari suara sunyi Tanam Sasi suatu warisan Papua yang tak hanya berbicara tentang pelestarian alam, tetapi juga tentang cinta, kesabaran, dan hormat kepada kehidupan itu sendiri.
Penulis: Belvana Fasya Saad
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5255297/original/042989900_1750154817-Upacara_tanam_Sasi_Papua.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)