PIKIRAN RAKYAT – Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyampaikan bahwa Pemerintah Indonesia perlu segera mengambil langkah proaktif guna mengamankan pasokan minyak bumi dan gas alam. Desakan tersebut muncul sebagai antisipasi terhadap potensi dampak eskalasi konflik antara Iran dan Israel.
“Pemerintah harus segera memperkuat pasokan minyak dan gas kita dengan merevisi kontrak-kontrak yang ada bersama mitra dagang,” ujar Wijayanto, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Antara, Jumat, 20 Juni 2025.
Meskipun harga minyak global saat ini terpantau cukup stabil, Wijayanto tetap mewanti-wanti akan tingginya risiko ketidakpastian global.
Sebagai informasi, pada perdagangan Jumat, 20 Juni 2025 pukul 14.53 WIB, harga minyak mentah Brent berada di kisaran 72,16 dolar AS per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) tercatat 73,92 dolar AS per barel.
Ia menjelaskan, bahwa harga minyak bumi relatif stabil meski perang besar di Timur Tengah berpotensi mengganggu harga minyak dan gas.
Diketahui juga bahwa Iran menyumbang 1,5 persen produksi minyak dan 6,5 persen gas alam di dunia. Ditambah lagi, Selat Hormuz melayani 20 persen ekspor minyak dan 30 persen ekspor-impor gas alam di skala global.
Wijayanto memprediksi konflik tidak akan meluas secara signifikan, mengingat tiga kekuatan besar dunia (Amerika Serikat, Rusia, dan China) telah menyatakan tidak akan terlibat langsung.
Meski begitu, ada kemungkinan potensi dampak terhadap perekonomian nasional tidak boleh diabaikan. hal itu karena bisa menyebabkan gangguan pada rantai pasok minyak dan gas global yang dikhawatirkan dapat menekan kinerja ekspor Indonesia, khususnya di sektor komoditas.
Hal ini pada gilirannya dapat memperburuk neraca transaksi berjalan dan menekan nilai tukar rupiah.
Ia pun menuturkan, apabila konflik meluas dan mengganggu suplai minyak bumi serta gas alam global, pertumbuhan ekonomi dunia akan terhambat.
“Ini akan mengurangi volume dan harga komoditas ekspor Indonesia, menurunkan neraca transaksi berjalan, dan memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah,” ujarnya.
Oleh karena itu, Wijayanto juga menekankan pentingnya mengoptimalkan kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) guna memperkuat cadangan devisa.
Cadangan devisa yang kuat akan menjadi amunisi Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
“Proyek-proyek besar yang memakan banyak anggaran perlu dievaluasi ulang dan disesuaikan dengan kapasitas fiskal kita. Jangan sampai beban fiskal kita semakin bertambah untuk hal-hal yang, meskipun penting, tidak bersifat mendesak,” tuturnya.***
