Liputan6.com, Yogyakarta – Kesenian trengganon merupakan salah satu kesenian yang berhubungan dengan ajaran Islam. Kesenian ini tumbuh dan berkembang di Padukuhan Parakan Wetan, Sensangsari, Minggir, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Mengutip dari laman Pusdatin Kemendikdasmen RI, kesenian trengganon awalnya digunakan sebagai media dakwah untuk menyebarkan agama Islam oleh Kyai Haji Syahid. Syiar agama Islam melalui kesenian ini dilakukan melalui lantunan syair yang diambil dari ayat-ayat Kitab Barzanji. Ayat tersebut kemudian dipadukan dan diselaraskan dengan jurus-jurus silat.
Terkait namanya, istilah trengganon berasal dari bahasa Arab tarawih dan anggonun. Tarawih berarti suatu hal yang baik, sedangkan anggonun berarti melaksanakan. Trengganon dapat diartikan sebagai melaksanakan suatu kebaikan.
Awal mula lahirnya kesenian ini bersamaan dengan hadirnya KH Syahid saat memberikan khotbah di Masjid Parakan Kulon sekitar 1930. Pada 1936, mesayarakat sudah mulai mempelajari kesenian ini yang akhirnya menjadi milik masyarakat Parakan Kulon.
Pada 1983, kesenian ini dipilih menjadi perwakilan kesenian Kabupaten Sleman untuk tampil di Jakarta. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman memberikan waktu berlatih selama dua bulan.
Namun, masyarakat Parakan Kulon merasa keberatan, sehingga dialihkan ke masyarakat Parakan Wetan. Sejak saat itu, masyarakat Parakan Wetan mempelajari kesenian trengganon. Mulai 1983, kesenian trengganon pun menjadi milik masyarakat Parakan Wetan.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3429723/original/033954800_1618478748-merapi-2614344_1920.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)