Lewat Bahasa Sehari-hari, Ibu Bongkar Dugaan Pelecehan terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di Tangsel Megapolitan 2 Juni 2025

Lewat Bahasa Sehari-hari, Ibu Bongkar Dugaan Pelecehan terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di Tangsel
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        2 Juni 2025

Lewat Bahasa Sehari-hari, Ibu Bongkar Dugaan Pelecehan terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di Tangsel
Tim Redaksi
TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com –
Keluarga korban pelecehan seksual terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK) membongkar peristiwa tersebut dengan pendekatan komunikasi yang tidak biasa.
Ibu korban menggali pengakuan sang anak, HP (17), melalui bahasa sehari-hari yang biasa mereka gunakan di rumah. Istilah tersebut yang merujuk pada tindakan pelecehan pada fisik.
Menurut juru bicara keluarga korban, Muhammad Cahyadi, sang anak kemudian membenarkan pertanyaan itu.
“Iya,” jawab korban yang ditiru Cahyadi saat dikonfirmasi
Kompas.com
, Senin (2/6/2025).
Ia menjelaskan, sang ibu sudah mulai merasakan gelagat aneh korban sejak Oktober-November 2024. Saat itu, ibu korban mengatakan ada perilaku yang tidak biasa dari anaknya.
Pasalnya, sang ibu mendapati perubahan perilaku anak yang mengarah pada dugaan tindakan kekerasan seksual.
“Mulai terlihat perilaku negatif dari korban. Ibu korban mencurigai adanya perubahan karena korban mulai menunjukkan perilaku yang belum pernah muncul,” jelas Cahyadi.
Karena keterbatasan komunikasi anak yang termasuk kategori ABK, ibu korban menggunakan pendekatan bahasa internal keluarga untuk memudahkan anak bercerita.
Dari pengakuan anak, nama seorang guru laki-laki disebutkan secara eksplisit dan korban berulang kali menyebut guru tersebut “jahat”.
Temuan ini semakin menguatkan kecurigaan sang ibu terhadap kemungkinan kekerasan seksual yang dialami anaknya di lingkungan sekolah.
Setelah mendengar pengakuan tersebut, orangtua korban segera menghubungi wali kelas dan menyampaikan kecurigaan tersebut kepada pihak sekolah.
Namun menurut Cahyadi, sekolah baru memberikan respons setelah satu minggu laporan disampaikan.
“Namun respons tersebut tidak berupa pertemuan formal, hanya pemanggilan biasa yang belum menyelesaikan permasalahan secara tuntas,” kata dia.
Adapun keluarga korban melaporkan kasus ini ke berbagai lembaga. Laporan pertama disampaikan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komisi Nasional Disabilitas (KND) pada 17 Maret 2025.
Satu hari setelahnya, ia melaporkan ke UPTD PPA Tangerang Selatan dan diarahkan untuk melapor ke Polres Tangerang Selatan.
Mereka pun akhirnya membuat laporan pada 18 Maret 2025 sekaligus direkomendasikan untuk melakukan visum di RSUD Serpong.
Laporan itu teregistrasi dengan nomor TBL/B/583/11/2025/SPKT/POLRES TANGERANG SELATAN POLDA METRO JAYA pada Selasa, 18 Maret 2025 sekitar pukul 11.45 WIB.
Kuasa hukum korban, Argus Sagittayama menyebutkan, pihak sekolah telah diberi arahan untuk berkomunikasi secara formal melalui kuasa hukum, namun hingga kini belum ada tindak lanjut atau komunikasi dari pihak sekolah.
”Kalau ingin bicara soal kasus ini, langsung ke pengacara saja,” kata Argus.
Kompas.com telah menghubungi Polres Tangerang Selatan untuk mengkonfirmasi peristiwa ini. Namun hingga berita ini ditayangkan, belum ada pernyataan resmi terkait peristiwa tersebut.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.