Liputan6.com, Surabaya – Ludruk, teater tradisional khas Jawa Timur, awalnya merupakan dunia yang tertutup bagi perempuan. Dalam sejarahnya, semua peran, termasuk tokoh perempuan, diperankan oleh laki-laki yang berdandan dan bertingkah laku menyerupai perempuan.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, peran perempuan dalam ludruk mengalami pergeseran. Saat ini, perempuan tidak hanya berperan sebagai pemain, tetapi juga terlibat sebagai sutradara, penulis naskah, bahkan produser.
Mengutip dari berbagai sumber, ludruk dikenal sebagai seni teater rakyat yang mengandalkan unsur humor, kisah kehidupan sehari-hari, dan kritik sosial. Kesenian ini mulai berkembang pesat di wilayah Jawa Timur, terutama di Surabaya, sejak awal abad ke-20.
Pada masa lalu, panggung ludruk sepenuhnya didominasi oleh laki-laki. Bahkan, peran perempuan yang disebut tandhak, dimainkan oleh laki-laki.
Tradisi ini didasari oleh norma sosial yang membatasi keterlibatan perempuan dalam pertunjukan publik. Laki-laki yang memerankan tokoh perempuan dalam ludruk melakukan cross-gender performance, yakni tidak hanya mengenakan busana perempuan, tetapi juga meniru gestur, suara, dan ekspresi khas perempuan secara menyeluruh.
Perubahan mulai tampak pada pertengahan abad ke-20, ketika masyarakat mulai menerima kehadiran perempuan di panggung ludruk, meskipun keterlibatan mereka masih bersifat terbatas. Secara perlahan, perempuan mulai memerankan tokoh-tokoh utama dan membawa warna baru dalam pertunjukan.
Kehadiran mereka memberikan otentisitas ekspresi perempuan yang sebelumnya hanya disampaikan melalui interpretasi laki-laki. Memasuki era modern, peran perempuan dalam ludruk semakin berkembang.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3221810/original/043219400_1598601046-ludruk_1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)