Tradisi Apitan di Demak, Warisan Budaya dalam Menyambut Bulan Haji

Tradisi Apitan di Demak, Warisan Budaya dalam Menyambut Bulan Haji

Liputan6.com, Demak – Masyarakat Kabupaten Demak, Jawa Tengah, secara rutin melaksanakan tradisi apitan setiap tahun sebagai wujud rasa syukur dan persiapan menyambut bulan haji. Tradisi yang berakar dari akulturasi budaya Islam dan Jawa ini telah diwariskan sejak masa wali sanga dan tetap bertahan hingga era modern.

Mengutip dari laman Pemerintah Kabupaten Demak, tradisi apitan merupakan ritual tahunan yang dilaksanakan pada bulan Apit menurut penanggalan Jawa, atau bulan Zulkaidah dalam kalender Hijriah. Penamaan bulan Apit merujuk pada posisinya yang terletak di antara dua hari raya besar Islam, yaitu Idulfitri dan Iduladha.

Secara historis, tradisi ini bermula pada periode penyebaran Islam di Jawa oleh wali sanga sekitar lima abad silam. Para penyebar agama Islam saat itu menerapkan pendekatan akulturasi dengan memadukan nilai-nilai Islam ke dalam tradisi lokal yang telah ada sebelumnya.

Ritual ini tidak hanya menjadi bentuk ungkapan syukur atas hasil bumi, tetapi juga berfungsi sebagai pengingat akan asal-usul manusia dari tanah, kehidupan yang bergantung pada tanah, dan akhirnya kembali ke tanah. Selain itu, tradisi apitan berperan sebagai media penguatan tali silaturahmi antarwarga sekaligus pelestarian budaya lokal.

Pelaksanaan tradisi apitan di Demak meliputi berbagai rangkaian kegiatan. Pembacaan Al-Qur’an menjadi pembuka acara, dilanjutkan dengan pertunjukan wayang kulit atau ketoprak yang berfungsi sebagai media dakwah warisan Sunan Kalijaga.

Beberapa desa seperti Sumber Jatipohon, tradisi ini diwarnai dengan kirab gunungan hasil bumi setinggi 2,5 meter yang kemudian diperebutkan warga setelah melalui prosesi doa bersama. Masyarakat pesisir Demak mengembangkan variasi tersendiri dalam pelaksanaan tradisi ini, antara lain melalui ritual larung sesaji berupa gunungan tumpeng ke laut sebagai simbol penyerahan kembali rezeki kepada Sang Pencipta.