Konon, budaya ngasosi dibawa oleh para ulama dan para jawara Betawi. Dalam masyarakat Betawi, jawara dikenal sebagai orang yang diberi kepercayaan untuk menjaga keamanan dan kedamaian kampung. Mereka dipandang sebagai sosok yang ahli dalam menggunakan ilmu silat, sehingga cukup disegani oleh masyarakat.
Ngasosi pada zaman dahulu dilakukan bersama-sama yakni dengan melaksanakan salat bersama-sama setelah mengaji, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan silat setelah salat Isya berjamaah. Rutinitas ini dipandang sebagai identitas yang dimiliki oleh para ulama Betawi tempo dulu.
Bagi masyarakat Betawi, budaya ngasosi memiliki makna mendalam yang mencerminkan makna hidup. Hal tersebut terlihat dari kemampuan orang Betawi dalam tiga hal tersebut, yakni memahami ilmu tajwid (mengaji), melaksanakan ibadah agar hidup tenang (salat), dan menjaga diri dari hal-hal buruk melalui silat.
Sebagai identitas budaya, ngasosi konon lahir dari proses adaptasi kisah Si Pitung. Seorang pendekar ternama dari tanah Betawi ini merupakan tokoh dari cerita rakyat asli Betawi yang muncul dari kehidupan masyarakat Betawi di masa kolonial Belanda.
Sosok Si pitung dikenal pintar, sopan, hormat pada guru dan kedua orang tua, pembela kebenaran dan keadilan, jago silat, rajin beribadah, serta menjunjung nilai-nilai sesuai syariat islam. Dari tokoh si Pitung tersebut, masyarakat Betawi pun memimpikan anak laki-laki yang mirip Pitung.
Dari sanalah, lahir istilah ngasosi. Namun di sisi lain, beberapa tokoh Betawi menyebut bahwa kata Pitung berasal dari kata pituang yang artinya tujuh pendekar. Mereka memiliki ilmu agama sekaligus ilmu silat yang bagus untuk menjaga diri sendiri.
Penulis: Resla
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/822294/original/013935400_1425533511-silat2.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)