9 Sejarah di Balik Lahirnya Grogol, Pejompongan, dan Tebet Megapolitan

9
                    
                        Sejarah di Balik Lahirnya Grogol, Pejompongan, dan Tebet
                        Megapolitan

Sejarah di Balik Lahirnya Grogol, Pejompongan, dan Tebet
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
– Di tengah gejolak politik dan pertumbuhan pesat penduduk pasca-kemerdekaan, Jakarta di awal 1950-an menghadapi masalah besar yakni krisis perumahan.
Kota yang baru mulai membangun dirinya sebagai ibu kota negara kala itu dibanjiri pendatang, sementara hunian yang layak jauh dari cukup.
Pemerintah kota pun bergerak cepat, membangun kawasan-kawasan baru yang kelak menjadi bagian penting dari wajah Jakarta.
Dikutip dari buku berjudul Gerak Jakarta: Sejarah Ruang-Ruang Hidup Vol. 2 yang diterbitkan oleh PT Pembangunan Jaya pada tahun 2021, salah satu langkah pertama pemerintah Kotapraja adalah mengembangkan proyek perumahan rakyat di kawasan Pelaju, Kebayoran Baru, seluas 8 hektar pada 1950.
Meski terbatas, ini menjadi tanda dimulainya upaya sistematis untuk menghadirkan hunian layak bagi warga.
Tahun berikutnya, perbaikan kampung juga dilakukan, dan pada 1952, geliat pembangunan semakin terasa. Bendungan Hilir, Karet Pasar Baru, Jembatan Duren, hingga Grogol disulap menjadi kawasan hunian baru.
Grogol, yang dikembangkan di atas lahan 25 hektar berbentuk segitiga, dirancang untuk buruh dengan fasilitas cicilan rumah hingga 20 tahun, sebuah terobosan pada masanya.
Tak hanya untuk buruh, pemerintah juga memikirkan pegawai negeri dan kalangan ekonomi rendah. Perumahan darurat untuk tukang becak hingga pedagang kecil didirikan di Pisangbatu, Karanganyar, Tanjung Priok, dan Tanah Tinggi.
Pada tahun yang sama, kawasan Pejompongan lahir, berbarengan dengan rencana strategis pembangunan Instalasi Pengolahan Air Minum (IPA) pertama di Indonesia.
Pejompongan dirancang bukan sekadar tempat tinggal, melainkan sebuah lingkungan hidup yang terstruktur. Ada sekolah, rumah sakit, tempat ibadah, hingga nama-nama jalan yang diambil dari danau-danau Nusantara, menghadirkan nuansa Indonesia dalam setiap sudutnya.
Pembangunan berlanjut di masa Wali Kota Soediro (1958–1960) dan Gubernur Soemarno (1960–1966).
Kala itu, Jakarta bersiap menjadi tuan rumah Asian Games 1962, memaksa banyak permukiman untuk digusur demi pembangunan stadion dan fasilitas olahraga.
Dari krisis ini, lahirlah Tebet, sebuah kawasan hunian dengan konsep kota taman yang modern dan visioner.
Dirancang di atas lahan seluas 8 hektar, Tebet membelah area hunian dengan jalur hijau yang tak hanya menjadi paru-paru kota, tetapi juga resapan air.
Pasar, sekolah, rumah ibadah, hingga rumah sakit dibangun berdampingan dengan rumah-rumah tinggal bergaya modern 1960-an, lengkap dengan beranda luas yang menjadi ciri khasnya.
Kisah Grogol, Pejompongan, dan Tebet adalah kisah tentang Jakarta yang bertahan, berbenah, dan membangun dirinya dari keterbatasan.
Dari ketidakpastian masa awal kemerdekaan, tumbuh harapan lewat hunian-hunian baru yang tak hanya menawarkan tempat berlindung, tetapi juga masa depan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.