Ki Ageng Metawun memiliki dua putra, yaitu Seconegoro yang menjadi senopati Mataram dan Ludrojoyo yang tinggal di desa. Raden Ludrojoyo peduli dengan nasib petani yang kesulitan air karena sendang berada di lokasi yang lebih rendah.
Pada suatu Kamis Kliwon, Raden Ludrojoyo pun melakukan tapa matirto, yakni bertapa dengan merendam diri ke dalam air atau topo kungkum di sendang. Ketika cahaya bulan tertutup awan tebal pada malam hari, terdengar suara ledakan yang sangat keras.
Warga yang tinggal di sekitar desa pun segera berkerumun menuju sumber ledakan yang diduga berasal dari Sendang Beji. Raden Ludrojoyo pun menghilang.
Sementara itu, lokasi sendang tiba-tiba berpindah dari tempat asalnya ke sebelah utara yang lebih tinggi dari sawah penduduk. Sayangnya, Raden Ludrojoyo tetap tidak ditemukan meski air sendang telah dikuras habis.
Tradisi keduk beji kemudian dilaksanakan sebagai salah satu cara mengenang peristiwa tersebut sekaligus bentuk penghargaan atas pengorbanan Raden Ludrojoyo. Bersamaan dengan waktu tapa matirto Raden Ludrojoyo, prosesi keduk beji juga dilakukan setiap Kamis Kliwon. Tradisi ini umumnya berlangsung selama lima hari, mulai Kamis Kliwon hingga Selasa Kliwon. Ritual keduk beji di Desa Tawun sekaligus menjadi tradisi yang menyatukan masyarakat setempat yang terus dilestarikan.
Penulis: Resla
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4299978/original/054073700_1674469395-burning-incense-sticks.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)