Politik Kita Semakin Gemoy?

Politik Kita Semakin Gemoy?

Oleh: M. Adnan Arsyad, 3d artist mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro

TRIBUNJATENG.COM – Industri kreatif dan politik, dua dunia yang dahulu berjalan sejajar, kini kian berjalin erat.

Dalam lanskap demokrasi digital, kreativitas tak lagi sekadar estetika—ia adalah senjata politik.

Pemilu bukan hanya tentang visi-misi, tetapi juga soal kemasan yang mampu mengundang emosi dan disebar ulang dalam sekali klik.

Menurut Katadata Insight Center (2023), sekitar 79 persen pemilih muda Indonesia pertama kali mengenal kandidat politik melalui media sosial, bukan media konvensional.

Ini mengindikasikan bahwa Instagram, TikTok, dan YouTube telah menjadi medan tempur narasi politik.

Konten kreatif tak hanya menjadi jembatan komunikasi, tetapi juga alat persuasi.

Fenomena “Gemoy 2024” yang melekat pada sosok Prabowo Subianto menjadi contoh transformasi citra politik melalui strategi visual.

Dari sosok militer yang dahulu terkesan keras, Prabowo kini direka ulang sebagai figur yang hangat dan lucu—menggemaskan.

Istilah “gemoy”, yang dipinjam dari kultur internet K-pop, digunakan secara strategis untuk menciptakan kedekatan emosional dengan pemilih muda, melalui meme, jingle, dan ekspresi visual yang viral.

Pendekatan ini mengafirmasi teori emotional branding dari Marc Gobé (2001), bahwa keterikatan emosional lebih efektif dalam membangun loyalitas dibandingkan komunikasi rasional semata.

Figur politik, seperti brand, harus mampu menyentuh sisi afektif audiensnya.

Kampanye Barack Obama pada 2008 menjadi preseden global. Dengan ikon visual “HOPE” karya Shepard Fairey, Obama menunjukkan bahwa kekuatan visual dapat melampaui narasi konvensional.

Studi Wheeler (2011) mencatat bahwa pemilih cenderung mengingat simbol lebih kuat daripada isi debat. Kini, pendekatan serupa diadopsi di Indonesia, dengan kolaborasi politisi dan kreator konten, dari musisi hingga pembuat film pendek.

Namun, keberhasilan estetika kampanye ini mengundang pertanyaan etis. Apakah publik memilih karena memahami, atau hanya karena “terhibur”? 

Dalam bukunya Amusing Ourselves to Death, Neil Postman (1985) memperingatkan bahwa ketika politik berubah menjadi hiburan, demokrasi terancam kehilangan substansi. “We are amusing ourselves to death,” tulisnya.

Lebih dalam, kita perlu bertanya: Siapa yang mengarahkan wacana? Politisi, atau algoritma? Demokrasi algoritmik saat ini menyisakan ruang gelap: dari konten viral tanpa sumber, microtargeting psikografis, hingga penggunaan deepfake.

Belum ada regulasi ketat di Indonesia yang menjamin kampanye digital tetap etis dan mendidik.

Di titik ini, industri kreatif seharusnya tak hanya menjadi eksekutor visual, melainkan penjaga integritas demokrasi. Pekerja kreatif bukan semata perpanjangan tangan politisi, tapi juga kurator narasi yang jujur.

Kreativitas politik seharusnya mengangkat kualitas wacana, bukan menenggelamkannya dalam sensasi.

Lalu, sebagai pemilih dan pembuat konten, kita patut bertanya: Apakah “gemoy” cukup untuk memilih masa depan bangsa? (*)