Ketua Banggar DPR Sambut Positif Kebijakan Prabowo Hapus Kuota Impor

Ketua Banggar DPR Sambut Positif Kebijakan Prabowo Hapus Kuota Impor

Jakarta, Beritasatu.com – Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah menyambut positif kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menghapus kuota impor untuk barang-barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak. 

Menurut Said, kebijakan Prabowo ini menjadi angin segar perbaikan kebijakan impor yang selama sering bermasalah dan memberatkan pengusaha di tengah kebijakan tarif impor Presiden AS Donald Trump.

“Saat bertemu dengan para pengusaha pada Selasa (8/4/2025) kemarin, Presiden Prabowo memerintahkan agar menghapus kebijakan kuota impor untuk barang-barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Arahan Presiden Prabowo ini tentu menjadi angin segar bagi perbaikan kebijakan impor,” ujar Said kepada wartawan, Rabu (9/4/2024).

Said mengatakan, Banggar DPR sejak 2020 lalu, sudah meminta pemerintah untuk mengubah kebijakan impor dengan sistem kuota menjadi penerapan impor berbasis tarif. Dengan bertumpu pada kebijakan tarif, kata dia, selain mendapatkan barang impor yang lebih fair dan kompetitif, pemerintah juga berpeluang mendapatkan penerimaan negara terutama dari bea masuk. 

“Namun, khusus untuk barang barang impor komoditas hajat hidup orang banyak perlu mendapatkan pembebasan tarif sebagai yang diusulkan oleh Presiden Prabowo,” tandas Said.

Menurut Said, kebijakan Prabowo Subianto menghapus kuota impor menjadi momentum melakukan  reformasi menyeluruh atas kebijakan perdagangan internasional Indonesia. Pertama, kata dia, secara makro, kebijakan impor harus mempertimbangkan trade balance agar neraca perdagangan tetap surplus. 

“Langkah ini sekaligus untuk menjaga agar cadangan devisa tetap terjaga dengan baik. Kebijakan tarif yang dilakukan oleh Presiden Trump saat ini salah satu tujuannya adalah menjaga agar neraca perdagangan mereka tidak defisit kian mendalam,” tutur dia.

Kedua, kebijakan impor hendaknya diletakkan sebagai barang substitusi sementara waktu, karena ketiadaannya di dalam negeri. Namun ke depannya Indonesia harus mampu memenuhi kebutuhan atas barang barang impor dengan produksi sendiri, dengan arah strategisnya kita bisa menjadi negara yang relatif mandiri, setidaknya dari sektor primer, yakni pangan dan energi.

“Ketiga, kebijakan impor harus mempertimbangkan arah kebijakan lain untuk memperkuat industri nasional, dengan arah strategis semakin upaya memperkuat tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) yang semakin besar porsinya. Kita harus belajar dari tergerusnya produk tekstil nasional karena banjirnya produk impor tidak terulang, apalagi terjadi di sektor sektor lainnya,” jelas dia.

Keempat, kata dia, karena makin kompleksnya kebutuhan terhadap produk barang dan jasa, serta kait mengait dari rantai pasok, pemerintah dan pelaku usaha seharusnya tidak menyandarkan kebutuhan impor barang dan jasa dari negara tertentu. Pemerintah, kata dia, perlu memperluas dari beberapa negara sehingga pemerintah dan pelaku usaha memiliki berbagai alternatif negara tujuan impor. 

Kelima, lanjut Said, deregulasi kebijakan impor, khususnya dari sektor pangan dan energi diharapkan tidak hanya mempermudah akses rakyat terhadap komoditas tersebut, tetapi juga tingkat harga yang lebih terjangkau. Dengan demikian, barang impor yang menjadi public good tidak menjadi beban ekonomi rakyat dan fiskal pemerintah.

“Indonesia telah meratifikasi perjanjian free trade agreement (FTA) setidaknya dengan 18 negara dengan berbagai skema, baik bilateral, regional maupun multilateral. Skema FTA ini harus mampu meningkatkan revealed comparative advantage (RCA) barang-barang Indonesia, dengan demikian manfaat kita meratifikasi FTA memberi manfaat scale up perekonomian nasional,” pungkas Said mengenai penghapusan kuota impor.