Ekonom Semarang Soroti Kenaikan Harga Kelapa

Ekonom Semarang Soroti Kenaikan Harga Kelapa

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Kenaikan harga kelapa yang cukup signifikan pada saat Lebaran tahun ini, menimbulkan kekhawatiran, tidak hanya pada kalangan konsumen rumah tangga, tapi juga pelaku industri di tanah air.

Sejumlah faktor seperti naiknya permintaan ekspor kelapa butir utuh di pasar global, kapasitas produksi yang relatif terbatas, hingga regulasi yang diangggap kurang mendukung pasar domestik, ditengarai ikut memicu kenaikan harga kelapa ini.

Ekonom Universitas Negeri Semarang, Bayu Bagas Hapsoro, mengatakan, hingga saat ini, permintaan ekspor butir kelapa utuh di pasa global, terus mengalami tren kenaikan yang tajam dari tahun ke tahun.

Di satu sisi, peningkatan ekspor ini tentu dapat membantu devisa negara, tapi disisi lain, apakah sudah dilakukan upaya pemberian nilai tambah yang cukup, hingga tidak hanya ekspor kelapa utuh, tapi juga produk turunan kelapa yang sudah diolah, seperti briket kelapa hingga minyak kelapa.

Dijelaskannya, sebagai perbandingan, jika hanya mengekspor kelapa butir, profit yang didapat hanya pada kisaran Rp 8.000 hingga Rp. 10.000, maka bandingkan jika sudah diolah menjadi briket, maka potensi profit dapat mencapai Rp.25.000 per kilogram.

Tingginya permintaan kelapa di pasar global ini, juga mengakibatkan ketidakseimbangan pasokan kelapa di dalam negeri. Jika melihat data yang dilansir dari Badan Karantina Pertanian, pada awal tahun 2024 lalu, volume ekspor kelapa butir atau kelapa bulat, terus menunjukkan tren positif.

Selain Cina sebagai negara tujuan ekspor terbesar, Indonesia juga melakukan ekspor ke sejumlah negara lain, seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, India, Australia, Amerika, dan Jerman.

Bayu Bagas Hapsoro, menambahkan, pada awal tahun ini saja, BPS tercatat ekspor kelapa bulat hingga bulan Februari 2025, sudah mencapai 71.077  ton. Pada periode itu, Cina masih menjadi negara tujuan dengan volume terbesar, sebanyak 68.065 ton dengan nilai 29,5 juta US dollar, diikuti Vietnam, Thailand, dan Malaysia, dengan volume masing masing sebanyak 2.180 ton, 550 ton, dan 280 ton.

“Jika tidak ada pengaturan tegas ekspor kelapa utuh ini, tidak hanya akan mengganggu suplai kelapa di dalam negeri, tapi juga akan mengganggu proses hilirisasi produk olahan kelapa, yang memiliki Economic Value Added (EVA) yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelapa utuh,” katanya.

Mengacu hal tersebut, maka rekomendasi moratorium ekspor kelapa bulat dari Kementerian Perindustrian pada Maret 2025 lalu, dapat menjadi solusi jangka pendek atas fenomena kurangnya pasokan kelapa di tanah air.

Hal ini perlu mendapatkan perhatian serius, mengingat menurut data Bappenas pada akhir tahun 2024, produktivitas kelapa di Indonesia mulai stagnan di kisaran 1,1 ton per hektar.

Selain itu, 98,95 persen kebun rakyat tradisional tanpa pengorganisasian dan regenerasi, sehingga berdampak sebanyak 378.191 ribu hektar tanaman sudah tidak lagi menghasilkan. 

“Di sisi lain, kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami penurunan beberapa bulan terakhir, seperti depresiasi rupiah terhadap mata uang asing, membuat biaya produksi di pasar domestik menjadi meningkat. Hal ini mendorong harga kelapa saat ini menjadi lebih mahal,” pungkasnya.

(*)