Teror Kepala Babi di Tempo: Negara Wajib Tegas
Kritikus, Aktivis HAM, Pemerhati Politik dan Hukum
KANTOR
redaksi
Tempo
di Jakarta, menerima paket berisi kepala babi, sebuah simbol yang sarat makna ancaman. Paket ini ditujukan kepada wartawan sekaligus host siniar
Bocor Alus
, Francisca Christy atau Cica (
Kompas.com
, 21/03/2025).
Tak ada surat ancaman dalam paket tersebut, hanya nama Cica yang tertulis di kardus. Namun, pesan yang ingin disampaikan jelas: intimidasi terhadap jurnalis yang menjalankan tugasnya.
Insiden ini bukanlah yang pertama kali terjadi terhadap
Tempo
. Tahun lalu, mobil jurnalis
Tempo
, Hussein Abri, dirusak oleh orang tak dikenal setelah ia meliput isu-isu politik yang sensitif.
Kini, dengan teror kepala babi, ancaman terhadap
kebebasan pers
semakin nyata. Dewan Pers dan berbagai organisasi jurnalis telah menyatakan keprihatinan mereka, menyebut insiden ini sebagai bentuk kekerasan terhadap pers yang mesti diusut tuntas.
Kasus ini mengingatkan kita bahwa ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia masih terus berlangsung. Pasal 28F UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas melindungi jurnalis dalam menjalankan tugasnya.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa jurnalis masih menjadi target intimidasi, terutama ketika mengungkap fakta-fakta yang mengusik kepentingan tertentu.
Tidak bisa dimungkiri bahwa independensi media adalah salah satu pilar demokrasi. Tanpa pers yang bebas, masyarakat kehilangan akses terhadap informasi yang jujur dan transparan.
Teror seperti ini bukan hanya serangan terhadap individu jurnalis, tetapi juga terhadap hak publik untuk mengetahui kebenaran.
Jika kasus ini dibiarkan, kita membuka ruang bagi praktik pembungkaman pers yang lebih sistematis. Jurnalis akan semakin dibayang-bayangi ketakutan dalam menjalankan tugasnya.
Efeknya tidak hanya pada individu wartawan yang diteror, tetapi juga pada kebebasan media secara keseluruhan.
Atmosfer ketakutan dapat membuat media enggan mengangkat isu-isu sensitif, menghambat transparansi, dan pada akhirnya merugikan masyarakat yang berhak mendapatkan informasi yang jujur dan berimbang.
Pembiaran terhadap aksi teror semacam ini akan menciptakan preseden buruk, seolah-olah intimidasi terhadap jurnalis adalah sesuatu yang dapat diterima.
Jika para pelaku tidak diusut dan diproses hukum, maka bukan tidak mungkin kejadian serupa akan terus berulang, baik terhadap
Tempo
maupun media lainnya.
Kita mesti menyadari bahwa kebebasan pers bukan sekadar hak jurnalis, tetapi juga elemen esensial dalam menjaga demokrasi yang sehat dan berfungsi dengan baik.
Karena itu, negara wajib hadir dan bertindak tegas. Aparat penegak hukum mesti segera mengusut kasus ini hingga tuntas, menangkap pelaku, dan memastikan mereka mendapatkan hukuman setimpal.
Pemerintah juga perlu memberikan jaminan perlindungan bagi jurnalis yang menghadapi ancaman, agar mereka dapat bekerja tanpa rasa takut.
Masyarakat harus bersuara lantang dalam menolak segala bentuk kekerasan terhadap pers. Dukungan publik terhadap kebebasan media sangat penting untuk menekan pihak-pihak yang berusaha membungkam jurnalis.
Jika kita membiarkan teror ini berlalu tanpa pertanggungjawaban, maka kita turut memberi ruang bagi kegelapan informasi, di mana kebenaran dikendalikan oleh mereka yang memiliki kekuatan untuk menindas.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dengan tegas mengecam aksi ini sebagai bentuk penghalangan terhadap kerja jurnalistik.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU Pers, setiap upaya menghambat atau menghalangi tugas jurnalis dapat dikenai sanksi pidana hingga dua tahun penjara atau denda maksimal Rp 500 juta.
Namun, peristiwa ini bukan hanya soal pelanggaran hukum, melainkan ancaman terhadap demokrasi.
Sebagai pilar keempat demokrasi, pers memiliki peran sentral dalam melakukan
checks and balances
terhadap kekuasaan.
Jika kebebasan pers terus dikekang melalui teror dan intimidasi, maka publik akan kehilangan akses terhadap informasi yang akurat dan independen.
Kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya melanggar hak mereka atas rasa aman, tetapi juga mencederai hak publik untuk mengetahui kebenaran.
Lebih dari sekadar ancaman terhadap kebebasan pers, insiden ini juga merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Hak atas kebebasan berekspresi—termasuk kebebasan pers, adalah bagian dari hak fundamental yang dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.
Negara memiliki kewajiban (
duty bearer
) untuk melindungi hak ini dan memastikan bahwa jurnalis dapat bekerja tanpa rasa takut.
Teror terhadap jurnalis pun melanggar hak atas rasa aman, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Ancaman dan intimidasi terhadap jurnalis tidak hanya menimbulkan ketakutan individu, tetapi juga menciptakan efek jera yang dapat membatasi kebebasan berekspresi secara lebih luas.
Ketika jurnalis merasa tidak aman dalam menjalankan tugasnya, masyarakat kehilangan akses terhadap informasi yang jujur dan independen.
Negara sejatinya berkewajiban untuk segera mengusut kasus ini dan memastikan adanya keadilan bagi korban.
Lembaga-lembaga negara, termasuk Komnas HAM dan Polri, mesti turut berperan aktif dalam memberikan pelindungan bagi jurnalis yang menghadapi ancaman.
Jika negara gagal bertindak, maka hal ini dapat dianggap sebagai bentuk pembiaran terhadap pelanggaran HAM yang semakin menggerus demokrasi di Indonesia.
Masyarakat sipil harus turut serta dalam mengawal kasus ini. Dukungan publik yang kuat dapat memberikan tekanan bagi pemerintah dan aparat penegak hukum untuk bertindak lebih tegas dalam melindungi kebebasan pers.
Dalam era digital yang semakin terbuka, solidaritas publik terhadap jurnalis dan media independen sangat diperlukan untuk memastikan bahwa hak atas kebebasan berekspresi tetap terjaga.
Jika negara tidak segera bertindak, maka kita mesti menghadapi kenyataan bahwa kebebasan berekspresi dan HAM di Indonesia semakin terancam.
Teror terhadap jurnalis bukan hanya persoalan individu, tetapi juga ancaman terhadap kebebasan fundamental yang menjadi pilar utama negara demokratis.
Oleh karena itu, pelindungan terhadap jurnalis mesti menjadi prioritas utama bagi pemerintah, aparat penegak hukum, dan seluruh elemen masyarakat.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Teror Kepala Babi di Tempo: Negara Wajib Tegas Megapolitan 21 Maret 2025
/data/photo/2019/02/08/156321508.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)