TRIBUNNEWS.COM – Jet tempur Amerika Serikat (AS) melancarkan serangkaian serangan udara di Yaman, menewaskan sedikitnya 32 orang, termasuk anak-anak dan wanita, serta melukai 101 orang lainnya.
Serangan ini terjadi setelah Presiden AS, Donald Trump, memperingatkan kelompok Houthi agar tidak menyerang kapal-kapal di Laut Merah yang dianggap terkait dengan Israel.
Menurut laporan dari Kementerian Kesehatan yang dikelola Houthi, serangan udara ini diluncurkan pada Sabtu (15/3/2025) dan berlanjut hingga Minggu (16/3/2025) dini hari, menargetkan ibu kota Yaman, Sanaa, serta wilayah Saada dan al-Bayda.
Sebagian besar korban yang tewas adalah anak-anak dan wanita, menurut juru bicara kementerian, Anis al-Asbahi.
Selain itu, serangan juga dilaporkan terjadi di provinsi Hajjah, Marib, Dhamar, dan Taiz.
Houthi menanggapi serangan ini dengan tegas, memperingatkan bahwa serangan tersebut “tidak akan berlalu begitu saja tanpa respons.”
Kelompok ini mengecam aksi AS sebagai bentuk “agresi” dan “kebrutalan kriminal.”
Ancaman Trump terhadap Houthi
Sebelumnya, Trump mengancam kelompok Houthi setelah mereka mengancam akan melanjutkan serangan terhadap kapal yang berlayar di Laut Merah sebagai respons terhadap blokade Israel terhadap Gaza.
Trump berjanji untuk menggunakan “kekuatan mematikan yang luar biasa” terhadap Houthi jika serangan tidak dihentikan.
Dia memerintahkan militer AS untuk melancarkan operasi militer besar-besaran terhadap kelompok tersebut.
Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, mengutuk serangan tersebut.
Araghchi menegaskan bahwa AS tidak memiliki kewenangan untuk mendikte kebijakan luar negerinya.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, menyerukan penghentian penggunaan kekuatan dan mendorong dialog politik untuk menemukan solusi damai.
Kontroversi Seputar Serangan
Kelompok Houthi sendiri membantah klaim AS yang menyatakan adanya ancaman terhadap navigasi internasional di Selat Bab al-Mandeb, dengan menyebut pernyataan tersebut sebagai “salah dan menyesatkan.”
Houthi menegaskan bahwa embargo maritim yang mereka terapkan hanya berlaku untuk pelayaran Israel dan bertujuan untuk mendukung Gaza.
Serangan AS, yang dilancarkan oleh jet dari kapal induk Harry S Truman yang berada di Laut Merah, disebut oleh Komando Pusat AS (CENTCOM) sebagai tindakan untuk “mempertahankan kepentingan Amerika” dan “memulihkan kebebasan navigasi” yang terancam oleh serangan Houthi.
Serangan ini mendapat kritik dari berbagai pihak, termasuk mantan diplomat AS Nabeel Khoury, yang menyebutnya sebagai langkah yang keliru.
Ia menilai serangan tersebut tidak akan mampu menundukkan kelompok Houthi yang telah terbukti tangguh dalam menghadapi tekanan militer.
Tanggapan Faksi Perlawanan
Faksi-faksi perlawanan Palestina telah mengeluarkan pernyataan keras mengutuk agresi yang dilakukan AS dan Inggris terhadap Yaman.
Hamas menggambarkan serangan ini sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional, yang menyerang kedaulatan dan stabilitas Yaman.
“Kami menyatakan solidaritas penuh terhadap negara dan rakyat Yaman,” ungkap juru bicara Hamas.
Mereka juga memberikan apresiasi atas dukungan Yaman terhadap perjuangan rakyat Palestina di Gaza.
Jihad Islam Palestina menilai agresi ini sebagai dukungan berani terhadap rezim Israel, dengan tujuan melindungi entitas tersebut.
“Serangan ini melanggar hak semua pihak yang mendukung rakyat Palestina,” kata perwakilan Jihad Islam.
Komite Perlawanan Rakyat menegaskan bahwa agresi AS-Inggris merupakan bagian dari bias AS terhadap Israel.
“Serangan ini tidak akan menggoyahkan tekad kuat rakyat Yaman dalam melawan kekuatan tirani dan arogansi Zionis-Amerika,” tegas mereka.
Gerakan Kebebasan Palestina juga mengkritik agresi ini sebagai perang yang dilakukan oleh Israel, dengan jelas menunjukkan bias dari AS dan Eropa yang mengorbankan darah rakyat Palestina dan Yaman.
Organisasi Teroris Asing
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) kembali menetapkan kelompok Houthi Yaman, yang dikenal sebagai Ansar Allah, sebagai Organisasi Teroris Asing (FTO), Selasa (4/3/2025).
Ini adalah langkah untuk memenuhi janji yang dibuat Presiden Donald Trump setelah menjabat pada 2017 lalu.
Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio mengungkapkan, keputusan ini sejalan dengan kebijakan yang dijalankan oleh pemerintahan Trump sebelumnya.
Rubio menyatakan kelompok Houthi telah terlibat dalam berbagai aktivitas yang mengancam keselamatan warga sipil, personel AS di Timur Tengah, serta mitra-mitra regional AS.
Salah satu ancaman utama adalah serangan yang dilakukan Houthi terhadap kapal-kapal komersial di Laut Merah dan Teluk Aden, yang mengganggu jalur perdagangan global dan kebebasan navigasi.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)