Epilepsi Bukan Aib, Upaya Linksos Tingkatkan Kesadaran dan Pemberdayaan
Tim Redaksi
MALANG, KOMPAS.com
–
Epilepsi
masih sering disalahpahami, bahkan dianggap sebagai aib di tengah masyarakat.
Stigma
dan kurangnya edukasi membuat banyak penderitanya terpinggirkan, kesulitan mendapatkan pekerjaan, dan kerap tidak mendapat dukungan dari keluarga.
Padahal,
epilepsi
bukan sekadar gangguan kesehatan, tetapi juga membawa dampak sosial dan ekonomi yang besar bagi penderitanya.
Di tengah tantangan ini, Lingkar Sosial Indonesia (
Linksos
) hadir membawa harapan.
Melalui berbagai program
pemberdayaan
dan edukasi, mereka berupaya menghapus
stigma
serta membuka jalan bagi penderita epilepsi untuk hidup lebih mandiri dan diterima dalam masyarakat.
Menurut Ken Kerta, Founder Linksos, epilepsi merupakan bagian dari disabilitas mental yang dalam jangka panjang dapat berdampak luas bagi kehidupan penderitanya.
“Jadi epilepsi itu termasuk dalam bagian disabilitas mental, jadi orang yang mengalami epilepsi dalam jangka panjang bisa mengalami disabilitas mental. Oleh karena itu, ini menjadi bagian dari tanggung jawab kami karena kami kelompok yang fokus dalam isu disabilitas,” ujarnya kepada
Kompas.com,
Selasa (11/3/2025).
Lebih dari sekadar penyakit yang menyerang sistem saraf, epilepsi juga berdampak pada berbagai aspek kehidupan, termasuk sosial, lingkungan, dan ekonomi.
Sayangnya, masih banyak yang mengabaikan dampak-dampak ini.
Karena itu, Linksos berupaya memberikan dukungan menyeluruh, baik bagi penderita epilepsi yang masih bisa diberdayakan maupun bagi keluarganya.
Posyandu Disabilitas
Salah satu langkah nyata yang dilakukan Linksos adalah mendirikan Posyandu Disabilitas.
Konsep ini mengadaptasi layanan posyandu konvensional, tetapi difokuskan pada penyandang disabilitas, termasuk penderita epilepsi.
Dengan adanya Posyandu Disabilitas, para penderita dan keluarganya mendapatkan akses lebih mudah terhadap layanan kesehatan serta edukasi yang tepat mengenai kondisi mereka.
“Posyandu Disabilitas, yaitu pos pelayanan terpadu berbasis kebutuhan dan bersumber dari masyarakat. Satu untuk disabilitas fisik, intelektual, mental, serta sensorik seperti pendengaran, penglihatan, dan bicara,” jelas Ken Kerta.
Menjangkau dan Memberdayakan
Linksos berprinsip sebagai komunitas terbuka yang mudah diakses oleh siapa saja.
Mereka menggunakan pendekatan persuasif, mengutamakan rasa kemanusiaan, dan menciptakan lingkungan yang nyaman bagi para anggotanya.
“Komunitas ini prinsipnya didatangi oleh orang karena terbuka dan mudah diakses. Kami juga merespons cepat jika ada yang menghubungi serta mempermudah urusan keanggotaan.
“Sehingga, orang datang langsung bisa kami layani. Kami menggunakan pendekatan persuasif sehingga mereka nyaman dan mengajak yang lain,” tutur pria yang juga sebagai Ketua Pembina Lingkar Sosial Indonesia.
Meski telah berjalan hampir satu dekade, jumlah anggota Linksos yang secara khusus mengidentifikasi diri sebagai penderita epilepsi masih sedikit, hanya sekitar 10 orang.
Ini menunjukkan bahwa stigma masih menjadi penghalang utama bagi mereka untuk terbuka mengenai kondisinya.
“Karena stigma penyakit, banyak orang malu atau takut dengan pandangan orang lain, sehingga tidak mengaku bahwa mereka mengidap epilepsi,” tambahnya.
Sejak awal berdiri sebagai perkumpulan pada 2014, Linksos menyadari perlunya berkembang agar dapat memberikan dampak yang lebih besar.
Itulah sebabnya mereka akhirnya membentuk yayasan, dengan harapan bisa menjangkau lebih banyak penderita epilepsi serta memperluas jangkauan edukasi dan pemberdayaan di tengah masyarakat.
Dengan semakin banyaknya dukungan dan kesadaran dari berbagai pihak, diharapkan stigma terhadap epilepsi dapat berkurang, sehingga penderita epilepsi bisa mendapatkan kesempatan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Epilepsi Bukan Aib, Upaya Linksos Tingkatkan Kesadaran dan Pemberdayaan Surabaya 11 Maret 2025
/data/photo/2025/03/11/67cfc83e9f7e6.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)