TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Badai PHK (pemutusan hubungan kerja) di sejumlah perusahaan di dalam negeri terus terjadi sejak awal tahun hingga Ramadhan ini.
Berdasar catatan, PHK buruh terjadi di PT Sanken di Karawang, Jawa Barat, PT Yamaha Musik dan PT Tokai di Bekasi dan PT PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Ekonom dan Direktur Ekonomi Digital CELIOS, Nailul Huda mengatakan, pendorong perusahaan melakukan PHK massal adalah menurunnya permintaan secara global. Dari sisi permintaan di Amerika dan China mengalami kontraksi yang cukup signifikan.
Di pasar domestik bahkan industri lokal tidak berkembang lantaran adanya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024, yang memudahkan impor masuk ke dalam negeri.
“Ini yang dinilai bahwa ya produksi kita kalah bersaing dengan barang-barang dari China, dengan harga yang jauh lebih murah. Belum lagi masalah untuk trifhting,” kata Nailul dalam keterangannya di media sosial YouTube Narasi, Minggu (9/3/2025).
Nailul mengatakan bahwa daya beli masyarakat yang terkontraksi ini bermula pada periode Mei hingga September 2024, yang mengalami deflasi berturut-turut secara bulanan.
Dia bilang, kedua alasan itulah yang menjadi penyebab perusahaan gulung tikar bahkan menimbulkan PHK massal.
“Nah ini artinya emang dari sisi permintaan ada gangguan di situ yang pada akhirnya menganggu juga dari sisi produksinya,” ucap dia.
“Makanya di tahun 2024 itu banyak produsen-produsen tekstil yang dia gulung tikar karena dua hal tersebut ada dari sisi kebijakan permendag nomor 8 di tahun 2024 dan juga ada di sisi daya beli masyarakat yang memang belum pulih sepenuhnya,” sambungnya.
Indeks PMI Februari 53,6 Poin
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan bahwa kinerja industri manufaktur Indonesia terus menunjukkan hasil positif. Tercermin dari Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur pada Februari 2025 yang menyentuh angka 53,6 poin.
Survei yang dirilis oleh S&P Global tersebut menunjukkan PMI manufaktur Indonesia naik signifikan hingga 1,7 poin dari capaian bulan Januari di angka 51,9.
PMI manufaktur Indonesia pada Februari 2025 mampu melampaui PMI manufaktur Amerika Serikat 51,6 poin, Taiwan 51,5 poin, Filipina 51,0 poin, China 50,8 poin, Thailand 50,6 poin, Malaysia 49,7 poin, Vietnam 49,2 poin, Jepang 48,9 poin, Myanmar 48,5 poin, Jerman 46,1 poin dan Inggris 46,4 poin.
“Indonesia mencatatkan pertumbuhan yang tertinggi di tingkat ASEAN. Bahkan juga melampaui negara-negara manufaktur global yang saat ini masih mengalami fase kontraksi,” tutur Menperin Agus di Jakarta, Senin (3/3/2025).
Performa manufaktur yang terlihat dari PMI juga sejalan dengan capaian Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Februari yang telah dilansir oleh Kementerian Perindustrian.
IKI pada Februari 2025 tercatat di level 53,15. Posisi tersebut meningkat 0,05 poin dibandingkan Januari 2025 atau meningkat 0,59 poin dibandingkan dengan Februari tahun lalu.
“Sama dengan bulan Januari 2025, di bulan Februari juga untuk PMI manufaktur Indonesia dan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) berada pada fase ekspansi. Ini menandakan bahwa sektor industri manufaktur terus berkembang dengan optimisme yang cukup tinggi di awal tahun,” ungkap Agus.
Meski harus menghadapi berbagai dinamika politik dan ekonomi global, industri manufaktur nasional tetap menunjukkan kepercayaan yang tinggi dalam menjalankan usahanya.
Hal ini turut mencerminkan kondisi iklim usaha di Indonesia yang kondusif karena adanya beberapa regulasi pemerintah yang mendukung peningkatan produktivitas dan daya saing bagi sektor industri.
“Dengan adanya berbagai upaya strategis dan inovasi dari para pelaku industri, serta dukungan berkelanjutan dari pemerintah, kami optimistis sektor industri manufaktur dapat kembali bangkit dan mencatat pertumbuhan positif sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional,” ujar Menperin.
