Secara teknis, apabila Premium (RON 88), Pertalite (RON 90), dan Pertamax (RON 92) dioplos, maka hasil campurannya akan memiliki angka oktan yang bervariasi.
Jika lebih banyak digunakan Premium dan Pertalite, hasil oplosannya akan memiliki RON sekitar 88-90. Namun jika lebih banyak menggunakan Pertamax, hasilnya bisa mendekati RON 92, tetapi jika persentasenya terlalu rendah, angka oktan bisa turun sedikit.
Bahan bakar oplosan ini memiliki dampak pada mesin cukup signifikan, terutama bagi kendaraan yang memerlukan bahan bakar dengan angka oktan tinggi, seperti yang disarankan untuk menggunakan Pertamax (RON 92).
Mesin yang dirancang untuk RON lebih tinggi dapat mengalami knocking (ketukan mesin), yang disebabkan oleh pembakaran yang tidak sempurna ketika menggunakan bahan bakar dengan angka oktan lebih rendah.
Knocking ini bisa merusak komponen mesin seperti piston dan katup dalam jangka panjang. Selain itu, mesin juga bisa kehilangan performa karena bahan bakar dengan angka oktan rendah tidak dapat mengatasi kompresi tinggi dengan optimal.
Penggunaan bahan bakar oplosan dengan angka oktan rendah juga cenderung membuat mesin lebih boros dalam konsumsi bahan bakar dan mengurangi efisiensi energi.
Mesin yang seharusnya mendapatkan bahan bakar dengan RON tinggi tidak dapat mencapai performa maksimal, sehingga lebih banyak bahan bakar yang dibutuhkan untuk mencapai kecepatan atau daya yang sama.
Menurut Henry, praktik para tersangka tersebut adalah salah satu bentuk pengkhianatan terhadap negara.
Akibat peristiwa tersebut, Pertamina sebagai simbol kedaulatan energi negeri bisa jatuh ke titik nadir. Negara juga dirugikan karena harus membayar subsidi pertalite dan premium padahal keduanya dijual ke pasaran sebagai Pertamax.
Kerugian negara lainnya yang tak bisa dikonversi menjadi nilai uang adalah turunnya kepercayaan publik.
“Jika pemerintah tidak hati-hati bisa menjadi bola panas yang memicu ketidakstabilan politik dalam negeri,” katanya.
Kemudian yang paling dirugikan adalah masyarakat. Selain mendapatkan produk yang kualitasnya rendah, juga seperti diadudomba dengan pemerintah.
Dalam hal ini efeknya adalah menurunkan kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara.
“Yang membahayakan adalah munculnya distrust rakyat kepada penyelenggara negara mulai dari BUMN, anggota kabinet hingga Kepala Negara,” katanya.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5142330/original/008474700_1740446722-IMG-20250225-WA0000.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)