Liputan6.com, Semarang – Tradisi Perlon Unggahan yang berlangsung di Bonokeling, desa Pekuncen kecamatan Jatilawang kabupaten Banyumas, Jumat (21-2/2025) adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat adat Bonokeling yang dilaksanakan secara turun-temurun.
Ritual ini diawali dengan perjalanan panjang yang melibatkan warga dari berbagai desa, yang berjalan kaki tanpa alas kaki di tengah terik matahari dan aspal yang menyengat dari tempat asal masing-masing untuk mengikuti prosesi perlon unggahan di desa Pekuncen kecamatan Jatilawang kabupaten Banyumas.
Sudarno, salah satu anak keturunan Bonokeling menjelaskan bahwa warga Bonokeling memulai ritual dengan jalan kaki dari berbagai desa di sekitar Bonokeling, seperti Adiraja, Daun Lumbung, Kalikudi, Kepungla, Jipara, Gubugan, Banjarwaru, hingga Kroya di satu sisi.
Di sisi lainnya, ada Sawangan, Semampir Karangpucung, dan berbagai desa lainnya di Banyumas, antara lain Tinggarwangi, Adisara, Pekuncen, Kedungringin, Gunung Wetan, hingga Kali Plang.
“Sebenarnya warga masyarakat adat Bonokeling ini tidak hanya terkonsentrasi di Banyumas saja. Tapi juga di Kabupaten lain yang cukup jauh,” kata Sudarno.
Setiap peserta ritual jalan kaki harus mematuhi syarat tertentu, seperti antri, tidak mengobrol, dan tidak boleh mendahului peserta lainnya. Bagi perempuan, harus dalam keadaan yang sesuai dengan ketentuan adat, misalnya dalam kondisi suci.
“Selama berjalan kaki ini, kami membawa bekal bahan makanan untuk acara selamatan di Pekuncen,” katanya.
Bekal ini kemudian diserahkan di perbatasan Desa Pekuncen Bonokeling, tepatnya di perbatasan yang dikenal sebagai tempat penyerahan bekal. Setelah itu, bekal bahan mentah yang dibawa oleh para peserta akan dikumpulkan di setiap bedogol dan dimasak bersama oleh warga, yang nantinya akan dipersembahkan dalam acara utama, yaitu Babaran (doa bersama yang mengakhiri rangkaian acara).
Pada pagi hari, usai salat subuh dilakukan ritual penyembelihan hewan kurban, kambing, sapi, dan ayam. Hewan-hewan tersebut dimasak secara gotong-royong oleh kaum laki-laki.
“Setelah penyembelihan dan pembersihan hewan selesai, anggota keluarga laki-laki kemudian membersihkan makam, termasuk pengecatan dan perbaikan area makam, sebagai persiapan untuk acara pisowanan,” tambah Sudarno.
Sementara itu, kaum perempuan bersiap untuk mengganti pakaian dan bersiap menuju juru kunci serta bedogol, sebagai persiapan untuk melakukan ziarah ke makam Kiai Bonokeling dan keluarga. Kaum laki-laki, sementara itu, masih berada di sekitar makam untuk menyelesaikan pembersihan.
Acara pisowanan dimulai dengan kaum perempuan, yang dipimpin oleh Nyai Siwen, keturunan langsung Bonokeling. Setelah selesai, kaum laki-laki mengikuti prosesi yang dipimpin oleh juru kunci dan lima bedogol. Ziarah ini harus dilakukan secara bergiliran, satu per satu, dengan setiap individu menyampaikan doa dan permohonan kepada Tuhan dan mendoakan Kiai Bonokeling.
Proses ini bisa berlangsung hingga menjelang matahari terbenam, bahkan pernah mencapai hingga pukul 22.00 WIB, akibat banyaknya peserta yang hadir. Acara ritual ini ditutup dengan Babaran, sebuah doa keselamatan bersama.
Dalam Babaran, setiap peserta memohon agar keluarga Bonokeling mendapat berkah dan restu dari leluhur. Pada akhir acara, setiap peserta akan mendapatkan berkat berupa bungkusan yang dapat dibawa pulang sebagai simbol keberkahan dan keselamatan.
Belajar Toleransi Beragama di Desa Kalikudi Cilacap
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-gray-landscape-new.png,45,600,0)/kly-media-production/medias/5140259/original/077659700_1740186462-IMG-20250222-WA0006.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)