6 Sejarah Kenapa Surakarta Disebut Solo Regional

6
                    
                        Sejarah Kenapa Surakarta Disebut Solo
                        Regional

Sejarah Kenapa Surakarta Disebut Solo
Editor
KOMPAS.com –
Banyak orang mungkin bertanya-tanya, apa sebenarnya perbedaan antara Sala, Solo, dan Surakarta?
Sebagian masyarakat menganggap ketiganya merujuk pada tempat yang sama, tetapi ada juga yang mengira bahwa Solo dan Surakarta adalah kota yang berbeda.
Sebenarnya, nama-nama ini memiliki sejarah panjang yang menarik untuk ditelusuri.
Sebelum membahas lebih jauh, perlu dipahami terlebih dahulu asal-usul Kota Surakarta.
Mengutip Kompas.com (3/7/2021), Kota Surakarta lahir dari pemindahan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Islam.
Pada masa pemerintahan Amangkurat II, pusat pemerintahan dipindahkan ke Kartasura akibat pemberontakan yang dipimpin oleh Trunojoyo.
Namun, setelah peristiwa Geger Pecinan pada 1743 yang menghancurkan Keraton Kartasura.
Peristiwa tersebut dipicu oleh pemberontakan etnis Tionghoa lantaran Pakubuwono II, yang kala itu memimpin Keraton Kartasura, dinilai berpihak kepada Belanda.
Karena Keraton Kartasura hancur, Pakubuwono II memerintahkan pemindahan keraton dari Kartasura ke Desa Sala. Desa Sala dipilih karena beberapa faktor, utamanya karena posisinya yang dekat dengan Sungai Bengawan Solo.
Lokasi ini dipilih atas pertimbangan strategis dan geografis.
Secara resmi, Keraton Surakarta mulai ditempati pada 17 Februari 1745, meskipun pembangunannya belum selesai sepenuhnya.
“Pakubuwono menganggap kerajaan di Kartasura sudah tidak bertuah, sehingga kemudian dipindahkan ke arah timur yaitu di pinggir (sungai) Bengawan Solo,” ujar pengamat budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Prof. Dr. Bani Sudardi, dikutip dari Kompas.com (9/11/2022).
Seiring waktu, Desa Sala berkembang menjadi sebuah kota besar dan dikenal dengan nama Surakarta Hadiningrat.
Nama Solo ternyata berakar dari Desa Sala.
Seperti dijelaskan oleh Dekan Fakultas Ilmu Budaya UNS, Prof. Warto, “Pada awalnya nama yang benar adalah Sala. Itu nama yang punya sejarah panjang. Jadi, Kota Solo yang sekarang kita kenal itu awalnya dari sebuah perpindahan kerajaan dari Kartasura ke Surakarta (Desa Sala) tahun 1745.”
Namun, ketika orang-orang Eropa datang, mereka kesulitan mengucapkan “Sala” dengan tepat. Pelafalan pun bergeser, dari “Sala” menjadi “Solo”.
“Orang Belanda susah menyebut Sala, sehingga berubah menjadi Solo,” tambah Prof. Warto.
Dalam aksara Jawa, perbedaan antara huruf “a” dan “o” memang signifikan.
“Kalau Sala ditulis dengan huruf Jawa nglegena atau telanjang. Kalau di-taling-tarung jadi ‘o’ makanya So–lo gitu,” jelasnya lebih lanjut.
Sejak saat itu, nama Solo lebih banyak digunakan dalam percakapan sehari-hari dan semakin populer hingga saat ini.
Meski lebih akrab disebut Solo, nama resmi kota ini adalah Surakarta. “Nama resmi untuk pemerintahan adalah Surakarta, itu resminya yaitu Kotamadya Surakarta,” ujar Prof. Bani Sudardi.
Nama Surakarta sendiri memiliki makna filosofis. Kata “sura” berarti keberanian, sementara “karta” berarti sempurna atau penuh. Nama ini juga bisa diartikan sebagai lanjutan dari Kartasura, sebagai bentuk kesinambungan monarki dari Kerajaan Mataram Islam.
Laman resmi DPRD Kota Surakarta pun menegaskan bahwa dalam konteks formal dan administrasi pemerintahan, nama yang digunakan adalah Surakarta. Sebaliknya, dalam percakapan umum, masyarakat lebih sering menggunakan Solo.
Jadi, apa bedanya Sala, Solo, dan Surakarta? Singkatnya:
Meski memiliki nama yang berbeda, ketiganya merujuk pada tempat yang sama: sebuah kota budaya yang kaya akan sejarah dan tradisi, yang hingga kini tetap dikenal sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa di Indonesia.
 
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.