Batu Purba Berusia 2 Miliar Tahun dari Antartika Dihibahkan ke UGM, Simak Ekspedisi Peneliti UGM di Antartika
Tim Redaksi
YOGYAKARTA, KOMPAS.com
– Sebuah batu berwarna hitam dalam kotak transparan diserahkan oleh Nugroho Imam Setiawan kepada Rektor Universitas Gadjah Mada (
UGM
), Prof. Ova Emilia.
Sekilas, batu tersebut tampak biasa, namun sebenarnya batu ini sangat spesial bagi ilmu pengetahuan.
Batu tersebut berusia kurang lebih 2 miliar tahun dan berasal dari Antartika.
Selain menyerahkan sampel batuan kepada pihak UGM, Nugroho juga menyumbangkan sampel serupa ke Museum Geologi dan Teknik Geologi UGM sebagai media pembelajaran.
“Saya membawa sampel batuan metamorf dan saya hibahkan ke Museum Geologi. Jadi, civitas akademika dan masyarakat Indonesia sudah bisa belajar serta melihat langsung batuan dari Antartika. Sampel tersebut sudah saya sumbangkan ke sana,” ujar Nugroho Imam Setiawan saat ditemui
Kompas.com
di UGM, Senin (3/2/2025).
Nugroho Imam Setiawan adalah dosen Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada (UGM).
Lahir pada tahun 1982, ia menjadi salah satu peneliti Indonesia yang mendapatkan kesempatan melakukan penelitian langsung di Antartika.
“Waktu itu umur saya 34 tahun. Saya sudah menyelesaikan S3 dan sudah menjadi dosen UGM, tetapi masih dalam tahap awal karier,” tuturnya.
Kesempatan menginjakan kaki dan meneliti langsung di Antartika masih sangat langka bagi peneliti dari Indonesia.
Nugroho awalnya tidak pernah menyangka bahwa ia akan mendapatkan kesempatan meneliti di daerah yang sebagian besar wilayahnya diselimuti salju.
Pada tahun 2010, ia melanjutkan studi S3 di Jepang. Saat itu, ia berinisiatif melamar untuk bisa ikut dalam penelitian di Antartika. Jepang memang secara rutin mengadakan ekspedisi ke Antartika melalui Japan Antarctic Research Expedition (JARE), yang juga mengajak peneliti dari Asia.
Namun, harapan Nugroho pupus karena bencana tsunami melanda Jepang pada 2011.
“Saya melamar, tetapi kemudian dibatalkan karena Jepang pada waktu itu mengalami tsunami. Sehingga dananya digunakan untuk pemulihan (recovery),” ujarnya.
Setelah gagal berangkat, Nugroho kembali fokus menyelesaikan S3 dan akhirnya lulus pada tahun 2013.
Di luar dugaan, pada tahun 2015, Nugroho dihubungi kembali oleh JARE yang menanyakan apakah ia masih tertarik untuk bergabung dalam ekspedisi ke Antartika.
“Ternyata lamaran saya masih tersimpan di sana, dan saya dihubungi lagi tahun 2015. Mereka menawari saya untuk ikut ekspedisi ke Antartika. Saya langsung menyatakan berminat,” tuturnya.
Sebelum berangkat, Nugroho harus menjalani serangkaian seleksi untuk memastikan ia siap menghadapi kondisi ekstrem di Antartika.
Seleksi yang harus dilewati meliputi administrasi, pemeriksaan kesehatan, serta latihan fisik.
“Saya mengikuti rangkaian seleksi, mulai dari administrasi hingga tes fisik,” ucapnya.
Setelah dinyatakan lolos, ia masih harus mengikuti pelatihan selama satu pekan di salah satu pegunungan di Jepang, yang suhunya mendekati kondisi di Antartika.
“Suhunya kurang lebih sama. Saat saya latihan di sana, suhunya mencapai minus 20 derajat Celsius,” katanya.
Dalam pelatihan ini, ia belajar bertahan hidup di kondisi ekstrem, seperti mendirikan tenda, memasak di dalam tenda, serta menggunakan berbagai peralatan di daerah bersalju.
Selain itu, ia juga mendapatkan pelatihan khusus tentang cara buang air di daratan Antartika, di mana feses manusia harus dibawa kembali ke kapal dan dibakar.
Suhu ekstrem di Antartika tidak memungkinkan bakteri pengurai berkembang.
“Kami dilatih berjalan di salju, bermain ski, serta melakukan flying camp di dalam tenda. Termasuk bagaimana cara memasak di kondisi dingin,” ucapnya.
Pada November 2016, Nugroho akhirnya memulai ekspedisi ke Antartika, bergabung dalam tim geologi yang terdiri dari delapan orang.
“Ada tiga perwakilan dari negara Asia yang belum tergabung dalam Traktat Antartika. Saat itu, saya dari Indonesia, kemudian ada dari Mongolia dan Vietnam. Selebihnya adalah orang Jepang,” ucapnya.
Perjalanan menuju Antartika dimulai dari Australia, lalu tim menaiki kapal ekspedisi menuju Antartika.
“Setelah sampai di tepian benua Antartika, kami dijemput dengan helikopter dan didrop di lokasi penelitian,” ungkapnya.
Penelitian berlangsung selama empat bulan, dari November 2016 hingga Maret 2017. Tim berpindah-pindah lokasi setiap satu hingga dua minggu dan tidur di dalam tenda satu orang per tenda.
“Kami melakukan flying camp. Jadi, kami tinggal di dalam tenda, satu orang satu tenda. Setelah sekitar seminggu atau sepuluh hari, kami dijemput dan dipindah ke lokasi lain,” tuturnya.
Total ada delapan lokasi penelitian yang dikunjungi, yaitu Akebono, Akarui, Tenmodai, Skallevikhalsen, Rundvageshtta, Langdove, West Ogul, dan Mt. Riiser Larsen.
Selama ekspedisi, Nugroho dan tim mengambil sampel batuan metamorf untuk meneliti evolusi benua Antartika.
“Kami mengambil sampel batuan metamorf dengan menggunakan palu geologi, lalu menyimpannya dalam kantong sampel,” ujarnya.
Menurut Nugroho, batuan di Antartika berusia sekitar 2,5 miliar hingga 500 juta tahun.
“Batuan di sana masih sangat segar dan tidak mengalami pelapukan seperti di daerah tropis, sehingga menyimpan informasi geologi yang sangat primer,” ungkapnya.
Saat ini, penelitian terhadap sampel batuan tersebut masih terus dilakukan dan telah dipublikasikan dalam tujuh jurnal internasional.
Nugroho menilai bahwa Indonesia perlu mulai melakukan studi ke Antartika, meskipun tantangannya cukup besar, terutama dari segi biaya.
“Saya pikir, Indonesia sebagai negara besar perlu melakukan penelitian di Antartika,” katanya.
Beberapa negara tetangga, seperti Malaysia dan Papua Nugini, telah bergabung dengan Traktat Antartika. Nugroho berharap Indonesia juga dapat segera melakukan penelitian sendiri di sana.
“Sumber daya manusia Indonesia sudah mampu melakukan penelitian di Antartika, walaupun saat ini masih harus bergabung dengan ekspedisi negara lain,” pungkasnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Batu Purba Berusia 2 Miliar Tahun dari Antartika Dihibahkan ke UGM, Simak Ekspedisi Peneliti UGM di Antartika Regional 8 Februari 2025
/data/photo/2025/02/08/67a6ff5e46ac0.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)