PIKIRAN RAKYAT – Program makan bergizi gratis atau MBG menjadi sorotan media luar negeri. Dalam Channel News Asia, media asal Singapura, program tersebut dikatakan memiliki masalah sehingga tidak efektif dan tidak berkelanjutan.
Media tersebut menulis bahwa anak-anak Indonesia menderita kekurangan gizi dalam berbagai tingkatan, yakni kekurangan gizi (stunting, wasting, dan underweight), kelebihan gizi (overweight dan obesitas), dan defisiensi mikronutrien (kekurangan multivitamin dan nutrisi esensial).
Akan tetapi, media tersebut menulis, seiring dengan membaiknya kondisi sosial ekonomi, prevalensi kekurangan gizi biasanya akan turun, diikuti oleh peningkatan kelebihan gizi terkait. Hal ini berlaku untuk Indonesia dan banyak negara berkembang lainnya. Dengan kata lain, sebagian besar anak-anak Indonesia mungkin makan cukup tetapi tidak baik.
“Ada tiga masalah terkait program makan bergizi gratis yang dapat membuatnya tidak berkelanjutan dan tidak efektif: Apa yang ada di piring, penerima sasaran, dan keberlanjutan fiskal,” tulis Channel News Asia.
Makan Cukup Bukan Berarti Makan Baik?
Channel News Asia menyoroti tiga isu terkait program makan gratis sekolah secara universal, termasuk di Indonesia.
“Pertama, penting untuk memperhatikan apa yang ada di piring. Tanpa standarisasi makanan yang tepat yang disajikan kepada anak-anak termasuk standar keamanan pangan, program tersebut berisiko tidak efektif dan berbahaya bagi anak-anak,” tulisnya.
Misalnya, lanjut media Singapura itu, bukti yang menunjukkan bahwa menyediakan makanan kaya kalori dan protein tanpa mikronutrien penting dapat meningkatkan berat badan tetapi tidak tinggi badan, sehingga meningkatkan obesitas. Dengan kata lain, anak-anak Indonesia membutuhkan makanan kaya mikronutrien dan bukan hanya makanan kaya kalori dan protein.
“Rencana awal pemerintah untuk memasukkan susu sebagai bagian dari makan siang gratis di sekolah adalah keliru. Karena susu tidak tersedia di semua daerah, penyediaan susu tidak lagi wajib.
“Anak-anak Indonesia, seperti anak-anak Asia lainnya, memiliki intoleransi laktosa yang tinggi karena kemungkinan alasan genetik atau budaya. Pada tahun 2017, pemerintah merevisi kampanye gizi Indonesia sehingga susu tidak lagi dianggap perlu untuk memenuhi kebutuhan gizi,” tulisnya.
Channel News Asia menyoroti pemerintah yang berencana agar peternak sapi dalam negeri mengimpor 1,3 juta ekor sapi betina, untuk menyediakan susu dan daging bagi program makan siang.
“Ini mahal dan juga akan menyebabkan kerusakan lingkungan,” tulisnya.
“Potensi pemborosan makanan dari program ini juga besar dan akan memperburuk status Indonesia sebagai negara terbesar kedua di dunia dalam menghasilkan kehilangan dan pemborosan makanan per kapita,” tambahnya.
Penerima Sasaran yang Sesuai
Masalah kedua menurut media tersebut yakni program makan bergizi gratis perlu mempertimbangkan penerima sasarannya.
“Sebuah studi di Chili mengenai program pemberian makanan tambahan untuk anak-anak prasekolah menunjukkan bahwa kecuali status kekurangan berat badan bersifat universal, intervensi yang ditargetkan diperlukan untuk mencegah obesitas,” tulisnya.
Masalah ketiga, lanjut Channel News Asia, pemerintah Indonesia harus memperhatikan keberlanjutan fiskal program tersebut.
“Badan Gizi Nasional telah mengakui kurangnya dana di tengah kesulitan untuk menutupi biaya yang membengkak. Masih dipertanyakan seberapa berkelanjutan program tersebut secara fiskal karena hal ini dapat berarti pajak yang lebih tinggi bagi kelas menengah yang sudah goyah,” katanya.
Dalam konteks ini, tambahnya, subsidi makanan untuk anak-anak dari rumah tangga kaya tampaknya tidak tepat.
Bukan Solusi Ampuh?
Media tersebut mengatakan bahwa program makan siang gratis dari pemerintah bukanlah obat mujarab untuk mengatasi tiga beban masalah gizi di kalangan anak-anak Indonesia.
“Program makan siang gratis di sekolah Indonesia akan lebih efektif jika dilakukan dengan koordinasi dengan program pelengkap lainnya. Ini termasuk perubahan perilaku dan komunikasi untuk meningkatkan praktik diet dan mengukur status gizi anak di sekolah baik pada tahap awal maupun selama program berlangsung,” tulisnya.
Program pelengkap lain, tulis media itu, termasuk aktivitas fisik, program pemberantasan cacingan, dan fortifikasi makanan.***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News
