Pabrik Gula Sukowidi, Saksi Bisu Perjalanan Industri Banyuwangi Era Kolonial

Pabrik Gula Sukowidi, Saksi Bisu Perjalanan Industri Banyuwangi Era Kolonial

Liputan6.com, Banyuwangi Setetes air tebu bagai emas yang bernilai tinggi di era kolonial Hindia Belanda. Dan bangunan Pabrik Gula Sukowidi yang kini berusia 130 tahun, menjadi salah satu saksi bisu perjalanan industri gula di Banyuwangi. Pabrik gula Sukowidi yang berada di Kecamatan Kalipuro itu, berada di bawah kepemilikan N.V Cultuur Maatschappij de Maas dari Rotterdam dan Hindia Belanda yang diwakili oleh Firma Anemaent & Co yang dibangun pada tahun 1895. Di tahun itu pula penanaman tebu pertamanya.

Dijelaskan oleh Koordinator Arkeolog Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi (Disbudpar Banyuwangi), Bayu Ari Wibowo, pendirian pabrik gula tersebut didasarkan pada beberapa pertimbangan, yang pertama karena kebutuhan gula yang meningkat dan menjadi komoditas perkebunan dengan harga tinggi di Hindia Belanda termasuk perkembangan pabrik gula Sukowidi pada 1895-1930 dapat dikatakan cukup baik. “Bahkan dikatakan hasil produksi per hektare tidak jauh berbeda dengan rata-rata produksi pada pabrik gula di grup Situbondo,” kata Bayu, Kamis (23/1/2025).

Dalam perjalanan industri komoditas dengan rasa manis itu, pabrik gula Sukowidi pernah mengalami beberapa insiden. Pada bulan Januari-Juni 1902 perkebunan tebu di wilayah Sukowidi pernah terbakar beberapa kali. Seorang pemuda bernama J.F Hagenstein, yang tinggal di Desa Bahungan, Banyuwangi dituduh membakar alang-alang sehingga menyebabkan perkebunan tebu tersebut terbakar. “Dari sumber penelitian, mengatakan sudah tiga kali ini J.F Hagenstein dituduh. Sebelumnya, juga dituduh sengaja membakar kebun tebu dengan menggunakan media korek api dan kulit kelapa,” ujar Bayu.

Setelah kurang lebih 35 tahun beroperasi, pabrik gula Sukowidi terancam ditutup karena krisis ekonomi yang mulai menyeruak ke permukaan. Kala itu, hanya 920 bau dari 1.150 bau area kebun tebu milik pabrik yang ditanami. Itu pun tidak penuh atau hanya sekitar 20 persen dari kapasitas produksi. 

Ketika krisis ekonomi di tahun 1930 itu, termasuk masa krisis malaise sampai 1937. Pabrik gula Sukowidi ini mengalami kesulitan untuk bangkit. Hal ini tentu terjadi akibat harga gula di pasar internasional turun drastis dan banyaknya penyakit tebu. “Ditambah lagi dengan kurang cakapnya manajemen kepegawaiannya, yang banyak sekali pergantian pekerja,” papar Bayu.

Namun muncul kabar, pemerintahan saat itu memutuskan bahwa Pabrik Gula Sukowidi tidak akan ditutup dan penanaman tebu untuk tahun 1933 sudah dapat direncanakan. Tentu berita itu sangat menggembirakan, tak hanya bagi karyawan tetapi juga bagi pemerintah wilayah. Mengingat, Sukowidi merupakan pabrik gula satu-satunya yang masih berdiri di Banyuwangi yang kontribusinya sangat besar bagi kemakmuran masyarakat.