Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Tiap Hari Gendong Minuman dan Tisu Jualannya, Pak Nana Bisa Sekolahkan 5 Anak, Pendapatan Tak Tentu

Tiap Hari Gendong Minuman dan Tisu Jualannya, Pak Nana Bisa Sekolahkan 5 Anak, Pendapatan Tak Tentu

TRIBUNJATIM.COM – Inilah kisah Pak Nana, penjual minuman dan tisu keliling di Kota Bogor.

Saat ditemui di alun-alun Kota Bogor, pria 50 tahun itu tampak berjalan kaki sambil menggendong dagangan.

Ia menggenggam sebotol air mineral dan sebungkus tisu, dagangan kecil yang menjadi sumber penghidupannya.

Warga Cilendek, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor ini setiap hari berjuang mengais rezeki dari berjualan air mineral dan tisu. 

“Air minum, tisu, Pak, Bu,” serunya dengan suara lembut, menawarkan dagangan ke pejalan yang lewat.

Nana tahu betul, pada hari kerja, pembeli akan lebih sedikit dibandingkan akhir pekan.

“Kalau hari Senin sampai Jumat itu pasti sepi. Kejual paling cuma satu dua botol saja. Yang ramai itu kalau hari libur, Sabtu, Minggu,” ujar Nana, melansir dari Kompas.com.

Nana hanya membawa 10-15 botol air mineral dan beberapa bungkus tisu setiap hari.

Dagangan itu ia simpan di wadah plastik. Namun, jika hujan turun sejak pagi, dagangannya hampir pasti tidak laku sama sekali.

“Saya jual tisu sama air mineral itu Rp 5.000. Nah, dikali saja, kalau sehari cuma laku tiga sampai empat, berarti penghasilan saya segitu,” ungkap dia.

Selain cuaca, Nana juga harus bersaing dengan pedagang lain yang menawarkan barang serupa.

Sudah hampir dua tahun Nana selalu memulai hari sejak pukul 06.00 WIB untuk berdagang, memastikan tidak kehilangan pelanggan.

“Kalau siang sedikit pasti sudah ketinggalan pelanggan, soalnya yang jualan seperti saya kan banyak,” kata dia.

Dengan upaya tersebut sekalipun, Nana masih kerap mendapat penolakan. 

“Sekarang banyak orang sudah bawa botol minum sendiri. Kalau kita tawarin, mereka jawab, ‘Maaf, Pak, saya sudah bawa.’ Ada juga yang nolak sambil sinis, ya sudah, biasa,” tutur dia dengan nada pasrah.

Namun, Nana tidak menyerah.

Bagi pria ini, setiap hari adalah perjuangan untuk mengais rezeki.

“Rezeki sudah ada Allah yang mengatur, tapi kita harus mau ngatur nyari peluang buat ngambil rezekinya,” kata dia.

Di balik perjuangannya, ada cita-cita besar yang terus mendorong Nana untuk bertahan. Ia ingin ketiga anaknya mendapatkan pendidikan yang layak.

Meski sang istri tidak bekerja, Nana telah berhasil menyekolahkan anak-anaknya.

Anak pertamanya sudah lulus SMA dan menikah, anak kedua telah menyelesaikan SMP, dan anak ketiga kini duduk di bangku SMA.

“Alhamdulillah, anak sekolah, ada saja rezekinya dari anak,” ucapnya dengan senyum kecil.

Selain dari hasil berjualan, Nana sempat terbantu oleh bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) dari pemerintah.

Uang sebesar Rp 250.000 yang biasanya dia terima setiap bulan cukup membantu memenuhi kebutuhan dapur keluarganya.

Namun, belakangan ini, bantuan tersebut tidak lagi dia terima.

 “Biasanya merasa terbantu, kaya ada harapan buat dapat uang dari PKH. Tapi sudah dua bulan ini belum keluar uangnya,” keluh dia.

Nana satu dari banyaknya orang yang tidak pernah menyerah akan takdir.

Di usianya yang sudah setengah abad, ia tetap percaya bahwa kerja keras akan selalu membuahkan hasil.

“Yang penting kita usaha, Mas. Mau kecil mau besar hasilnya, yang penting halal,” kata Nana sambil kembali menawarkan dagangannya kepada pejalan kaki yang melintas.

Sebelumnya juga viral kisah Sukir seorang tukang sol sepatu sudah berkutat dengan alas kaki sejak tahun 1982.

Pekerjaan Sukir sebagai tukang sol sepatu itu menjadikan lima anaknya tamat bersekolah.

Sukir tampaknya sudah banyak makan asam garam dunia persolan sepatu lantaran pengalamannya puluhan tahun.

Berbagi ceritanya setelah bekerja puluhan tahun, Sukir mengaku ogah ketika ditawari menjadi kuli bangunan.

Di tengah hiruk-pikuk gempuran sepatu second impor yang lebih murah tak membuat Sukir berhenti untuk menjalani profesinya sebagai tukang sol sepatu.

Sukir Sol biasa ia dikenal sudah mengabdikan hidupnya untuk memperbaiki sepatu sejak 1982 menghadapi suka duka dalam menjalani profesi yang menjadi penopang ekonomi keluarganya.

Warga RT 01 Kelurahan Suka Jadi Kecamatan Lubukinggau Barat I ini kerap berkeliling kota Lubuklinggau, Sumsel menjajakan jasa sol sepatu.

Sukir mempunyai lima orang anak dan semuanya telah menamatkan pendidikan hingga SMA.

Semuanya sudah bekerja meski penghasilan sehari-harinya tidak menentu.

Sukir bercerita ia menggeluti jasa sol sepatu sejak muda, dimulai dengan belajar mengesol sepatu secara otodidak kemudian menjadi tukang sepatu keliling.

“Dulu awalnya ngesol sepatu ini otodidak ketika dijalani ternyata menjadi profesi sampai sekarang,” ceritanya pada Tribunsumsel.com, Minggu (15/12/2024), seperti dikutip TribunJatim.com, Senin (16/12/2024).

Awalnya Sukir mangkal jalan menuju pasar Inpres Lubuklinggau, kemudian karena ramainya tukang sol sepatu saat itu ia memutuskan untuk berkeliling.

“Karena yang mangkal banyak akhirnya keliling. Waktu kereta ekonomi masih bebas, kita ikut kereta ngesol sepatu sampai wilayah Lahat,” ujarnya.

Kemudian sejak kereta ekonomi mulai ada batasan tahun 2013 silam.

Sukir hanya berkeliling di wilayah Lubuklinggau dan paling jauh ke wilayah Tugu Mulyo Kabupaten Musi Rawas (Mura).

“Karena sekarang umur tidak muda lagi walaupun tidak pernah sakit-sakit sekarang wilayahnya hanya keliling Lubuklinggau, sore pulang,” ungkapnya.

Bagi Sukir menjadi tukang sol sepatu memiliki tantangan tersendiri.

Namun, ia memilih jalur ini dibanding menjadi buruh bangunan.

“Jadi tukang sol itu kita yang ngatur pekerjaan, walaupun kadang sekali-kali pernah diajak kawan nukang bangunan,” ujarnya.

Sukir mengaku penghasilan sebagai tukang sepatu tidak menentu kadang banyak, namun kadang walau sudah berkeliling tidak dapat sama sekali.

“Kadang dapat kadang tidak, sekarang lebih kepada cukup untuk makan saja, kadang dapat Rp.50 ribu kadang malah tidak dapat sama sekali, syukuri saja,” ungkapnya.

Namun meski penghasilan jasa sol sepatu masih ada, Sukir telah meminta kepada anak-anaknya agar profesi jasa sol sepatu tidak dilanjutkan anak -anaknya.

“Cukup saya saja, saya pesan kepada anak-anak saya, carilah profesi lain yang lebih menghasilkan,” ujarnya.

Kemudian untuk biaya jasa sol sepatu bervariasi, tergantung jenis sepatu atau sandal. Untuk sepatu wanita pelajar, ia mematok harga mulai Rp.10  ribu.

“Sementara harga termahal untuk sepatu besar mencapai Rp.15 ribu,” ungkapnya.

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com