Indonesia telah secara resmi menjadi anggota BRICS, menambahkan ekonomi terbesar di Asia Tenggaradengan populasi terbanyak di kawasan tersebut ke dalam blok itu.
BRICS didirikan oleh Brasil, Rusia, Cina, dan India pada tahun 2009, dan telah berkembang relevansinya sebagai forum internasional bagi negara-negara berkembang. Afrika Selatan bergabung segera setelah pertemuan puncak pertama. Lalu pada tahun 2024, Mesir, Iran, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab menjadi anggota.
Didorong oleh anggota-anggota baru, BRICS berusaha memperkuat reputasinya sebagai alternatif bagi kelompok ekonomi utama G7 yang dipimpin Amerika Serikat.
“Kami telah menegaskan beberapa kali bahwa BRICS merupakan platform penting bagi Indonesia untuk memperkuat kerja sama Selatan-Selatan dan memastikan bahwa suara dan aspirasi negara-negara Selatan Global terwakili dengan baik dalam proses pengambilan keputusan global,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Rolliansyah Soemirat, kepada DW.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Jakarta “berkomitmen untuk berkontribusi pada agenda yang dibahas oleh BRICS, termasuk upaya untuk mempromosikan ketahanan ekonomi, kerja sama teknologi, dan kesehatan masyarakat,” lanjut Rolliansyah Soemirat.
Gabung BRICS, Prabowo berisiko ‘dimusuhi’ Barat?
Presiden Indonesia sebelumnya, Joko Widodo, menolak bergabung dengan BRICS pada tahun 2023, dengan mengatakan Jakarta masih mempertimbangkan pro dan kontra dan tidak ingin “terburu-buru.” Sementara presiden yang baru saja terpilih yakni Prabowo Subianto tidak terlihat khawatir.
Namun pergeseran di Jakarta menandakan lebih dari sekadar perubahan pemerintahan. Dengan tatanan global yang dipimpin Barat yang dipandang sebagai terkoyak secara politik, dilemahkan oleh kekacauan ekonomi dan perang di Ukraina dan Timur Tengah, negara-negara di Global Selatan semakin bersedia untuk bergerak lebih dekat ke Beijing dan Moskow dan berisiko membuat Washington berang.
Lebih dari 30 negara, termasuk negara-negara Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia dan Vietnam, kini telah menyatakan minat atau secara resmi mengajukan keanggotaan BRICS.
BRICS inginkan dunia yang multipolar
Evolusi BRICS menjadi blok geopolitik yang lebih besar juga didorong oleh kebangkitan Cina sebagai kekuatan ekonomi dan politik global. Pemerintah Cina sering menyerukan tatanan dunia yang multipolar, dan infrastruktur keamanan dan keuangan yang tidak secara eksklusif didominasi oleh AS. Anggota BRICS juga sering membahas dominasi global dolar AS, dan perlunya kerangka keuangan alternatif antarnegara.
Secara diplomatis, BRICS penting bagi Cina dan Rusia sebagai simbol lanskap multipolar yang sedang berkembang. Forum BRICS pada 2024 yang diselenggarakan oleh Presiden Rusia Vladimir Putin menunjukkan bahwa Moskow masih punya banyak kawan di seluruh dunia meskipun ada sanksi Barat.
Mengomentari keputusan Indonesia bergabung dengan BRICS, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Guo Jiakun, memujinya sebagai “negara berkembang utama dan kekuatan penting di Dunia Selatan.”
Penting untuk dicatat bahwa BRICS bukanlah kelompok yang secara terang-terangan anti-Barat. Indonesia, seperti halnya anggota pendiri BRICS, India, menikmati hubungan baik dengan negara-negara Barat, dan tidak mungkin memihak dalam pertikaian geopolitik antara AS dan para pesaingnya.
Indonesia diharapkan jadi penyeimbang
“Indonesia tidak bermaksud melepaskan diri dari Barat baik perlahan-lahan maupun secepatnya,” kata M. Habib Abiyan Dzakwan, peneliti di departemen hubungan internasional di Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, kepada DW.
“Dalam DNA kebijakan luar negeri Indonesia, semua adalah sahabat sebagaimana dinyatakan oleh Prabowo juga,” katanya. Ia menambahkan bahwa Jakarta “hanya ingin memperluas lapangan permainannya.”
“Jika Indonesia dapat mempertahankan posisi non-bloknya dan memengaruhi agenda BRICS dengan pandangan inklusif untuk tidak mengecualikan atau meniadakan Barat, saya kira mungkin tidak akan berdampak banyak pada hubungan kita dengan Barat,” menurut Habib.
Teuku Rezasyah, pakar hubungan internasional lainnya dan dosen dari Universitas Padjadjaran di Jawa Barat, mengatakan kepada DW bahwa Indonesia dapat bertindak sebagai “penyeimbang” dalam BRICS, sekaligus menjaga hubungannya dengan AS dan UE.
“Sebagai kekuatan menengah, menjadi anggota BRICS memberi Indonesia pengaruh dalam tatanan global,” katanya.
Efek Donald Trump terhadap negara BRICS
Ketika Presiden AS terpilih Donald Trump menjabat akhir bulan ini, AS diperkirakan akan menarik diri dari keterlibatan multilateral. Pada bulan November 2024, Trump juga mengancam anggota BRICS akan diputus dari ekonomi AS jika mata uang BRICS diciptakan.
Alexander Raymond Arifianto, peneliti senior di Sekolah Studi Internasional S. Rajaratnam (RSIS), percaya bahwa pendekatan yang lebih transaksional oleh pemerintahan Trump dapat memberi Indonesia kesempatan untuk membangun kemitraan yang lebih kuat dalam organisasi regional.
“Menjalin kemitraan yang saling menguntungkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya tidak hanya akan memperkuat posisi non-blok kawasan tersebut dalam tatanan geopolitik yang semakin tidak pasti, tetapi juga akan memperkuat status Indonesia sebagai pemimpin ASEAN serta mandat multilateralnya pada saat Amerika Serikat condong ke arah unilateralisme,” tulis Arifianto dalam sebuah artikel baru-baru ini.
Laporan tambahan dari Jakarta oleh Prita Kusumaputri dan Iryanda Mardanuz
Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris