Jakarta, Beritasatu.com – Penurunan suku bunga acuan biasanya diidentikkan sebagai sentimen positif bagi pasar saham dan indeks harga saham gabungan (IHSG). Sebab, dapat mendorong perusahaan mengejar pertumbuhan bisnis. Investor yang optimistis akan mengakumulasi saham-saham perusahaan yang berpotensi untung seusai penurunan suku bunga acuan.
Sepanjang tahun 2024, The Fed telah menurunkan suku bunga acuan sebanyak empat kali. Lantas mengapa IHSG cenderung memerah sepanjang tahun ini yang masih berkutat di level 7.100. Padahal pada akhir 2023, IHSG ditutup pada 7.272.
Senior Equity Research Analyst Panin Sekuritas Aqil Triyadi menjelaskan, sepanjang 2024 ada beberapa sentimen yang membuat investor cenderung wait and see dan melakukan aksi jual di pasar domestik, sehingga membuat IHSG melemah. Salah satunya adalah Pemilu 2024.
“Kalau kita kilas balik sepanjang 2024, itu beragam sekali. Salah satu yang major adalah pemilu. Tone-nya sedikit kurang positif karena pelaku bisnis dan investor cenderung wait and see,” kata Aqil kepada Beritasatu.com di BEI, Jakarta Senin (23/12/2024).
Lebih lanjut, Aqil menyebut, pada pertengahan tahun ini, perhatian investor mulai bergeser pada pemangkasan suku bunga acuan The Fed
“Pertengahan tahun ada pemotongan suku bunga Fed. Investor memiliki ekspektasi pemangkasannya akan lebih tinggi. Ini sempat membuat IHSG menembus all time high (ATH). Namun, ketika pemangkasan suku bunga acuan lebih rendah daripada ekspektasi, market lesu lagi,” tambah Aqil.
Investor memiliki naluri untuk berpikir ke depan (forward looking). Hal itu membuat investor cenderung keluar dari pasar saham seusai mengetahui potensi pemotongan suku bunga acuan akan semakin kecil pada 2025.
“Investor menerka, kira-kira bagaimana potensi pertumbuhan industri dan perusahaan tahun depan? Dari situ kita lihat ada price in dari para investor dengan pelemahan yang sedang terjadi di IHSG,” lanjut Aqil.
Ke depan, Aqil setuju, sentimen luar negeri akan menghantui pasar saham dan IHSG. Salah satu sentimen yang menjadi fokus adalah kebijakan perdagangan presiden terpillih AS Donald Trump.
“Jadi apa yang investor khawatirkan? Pertama, pergerakan suku bunga acuan yang melambat. Kedua, bagaimana sikap Donald Trump dan kebijakan-kebijakan yang lebih menguntungkan Amerika sendiri,” kata dia.
Pada 2025, kata dia, akan ada perang tarif AS dengan Tiongkok yang berdampak pada IHSG. Pelaku pasar khawatir tentang hal ini, terutama Indonesia, karena Tiongkok salah satu mitra dagang utama Indonesia.
“Kalau perang tarif berlangsung, industri Tiongkok melemah, ini juga berdampak negatif ke industri Indonesia. Jadi sebenarnya sentimen dari global cukup mengkhawatirkan,” pungkas Aqil.
