Jakarta, FORTUNE – Sepanjang tahun 2024 hingga 23 Desember 2024, sebanyak 20 Bank Perekonomian Rakyat (BPR) telah diCabut Izin Usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jumlah ini lebih tinggi dari rata-rata bank bangkrut pada tahun-tahun sebelumnya yang hanya 9 hingga 8 bank.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae mengungkapkan, alasan utama dari banyaknya BPR yang ditutup ialah adanya aturan dalam Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) dimana status Bank Dalam Penyehatan (BDP) tidak boleh melampaui 1 tahun.
“Pencabutan izin usaha dilakukan sebagai bagian dari pelaksanaan tugas OJK dalam rangka menjaga dan memperkuat industri BPR/BPRS serta melindungi kepentingan konsumen setelah Pemegang Saham dan Pengurus BPR/S tidak mampu melakukan upaya penyehatan,” kata Dian melalui keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (24/12).
Ini skema pencabutan izin usaha bank
Proses Pembayaran Klaim Likuidasi Bank/ Dok. LPS
Seperti diketahui, sebelum sebuah bank dicabut izin usahanya, OJK akan kategorikan bank dalam status pengawasan atau Bank Dalam Pengawasan Intensif (BDPI), dengan pertimbangan tingkat kesehatan (TKS). Bila tak kunjung membaik, bank akan dimasukan dalam kategori BDP dan terakhir bakal dicabut izin usahanya.
“Pengawas senantiasa memantau realisasi rencana tindak penyehatan yang dilakukan oleh BPR/S dan para pemegang saham,” kata Dian.
Upaya korektif seperti penambahan setoran modal, aksi korporasi hingga konsolidasi merupakan beberapa upaya penyehatan yang dilakukan selama masa BPR ditetapkan pada status dalam penyehatan.
Aset BPR/BPRS masih tumbuh 7,07%
BPR Lubuk Raya Mandiri Bangkrut dan dicabut izin usahanya oleh OJK/Dok LPS
Dian menambahkan, realisasi dari rencana tindak BPR dan para pemegang ini yang berpengaruh terhadap penetapan BPR dalam Penyehatan dapat kembali normal atau menjadi BPR/S dalam resolusi.
Di sisi lain, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan penyaluran kredit dan pembiayaan BPR/BPRS mencapai Rp163,33 triliun pada Juli 2024 atau tumbuh 7,07 persen (yoy). Sementara itu, dari segi aset, terjadi pertumbuhan 6,12 persen menjadi Rp211,13 triliun.