TRIBUNNEWS.COM, KENDARI – Kasus Guru Supriyani di Kendari, Sulawesi Tenggara pada November 2024 sangat menyedot perhatian publik.
Guru Supriyani didakwa kasus penganiayaan terhadap muridnya di SDN 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel). Di sekolah tersebut, Supriyani adalah guru honorer.
Orangtua dari murid yang disebut dianiaya itu adalah seorang polisi berpangkat Aipda Wibowo Hasyim, dan Nurfitriana.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Andoolo, Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra), memvonis bebas Supriyani pada Senin (25/11/2024).
Simak rangkuman Tribunnews
Awal mula laporan
Supriyani sempat ditahan di Kejaksaan Negeri Konsel usai kasusnya dilimpahkan ke pengadilan pada 16 Oktober 2024.
Supriyani dituduh aniaya murid yang merupakan seorang anak polisi yang bertugas di Polsek Baito, Konsel.
AKBP Febry Sam, Kapolres Konsel mengatakan, peristiwa ini bermula pada 24 April 2024.
Saat itu, siswa SD yang berinisial M sedang bermain dan pelaku, Supriyani, datang menegurnya hingga terjadi penganiayaan.
“Kejadian terjadi pada Rabu (24/4/2024) di sekolah, saat korban telah bermain dan pelaku datang menegur korban hingga melakukan penganiayaan,” kata AKBP Febry Sam, Senin (21/10/2024).
Febry juga mengonfirmasi bahwa siswa tersebut merupakan anak dari anggota Polsek Baito.
Keesokan harinya, ibu korban melihat ada bekas luka di paha belakang korban dan menanyai anaknya soal luka tersebut.
Kepada ibunya, sang anak menjawab bahwa luka tersebut adalah luka terjatuh saat bermain dengan ayahnya.
Namun, korban kepada ayahnya mengaku bahwa luka tersebut adalah luka pukulan yang didapatkan dari Supriyani.
Ayah dan ibu korban pun langsung mengkonfirmasi saksi yang disebut korban melihat kejadian tersebut.
Akhirnya, ibu korban yang berinisial N dan suaminya, Aipda WH melaporkan kasus ini ke Polsek Baito.
Supriyani pun dipanggil ke polsek untuk mengonfirmasi terkait laporan tersebut.
“Tetapi yang diduga pelaku tidak mengakuinya sehingga yang diduga pelaku disuruh pulang ke rumahnya, dan laporan Polisi diterima di Polsek Baito,” kata AKBP Febry Sam.
Febry menambahkan, upaya mediasi juga sudah dilakukan, namun terkendala karena terduga pelaku tak mengakui perbuatannya.
Sementara itu, Kanit Reskrim Polsek Baito, Bripka Jefri memberi masukan ke Kepala SDN 4 Baito untuk menyampaikan kepada Supriyani agar mengakui perbuatannya dan meminta maaf kepada korban.
Atas saran Bripka Jefri, Supriyani pun disebutkan pernah datang ke rumah korban bersama suaminya beberapa hari setelah ada laporan di Polsek Baito.
Supriyani datang untuk meminta maaf dan mengakui perbuatannya.
Guru honorer Supriyani (kiri) dan surat pemanggilannya untuk bersaksi dalam kasus dugaan pemerasan. (Tribun Sultra)
Namun, ibu korban belum bisa memaafkan.
Bahkan, kepala desa bersama dengan Supriyani dan suaminya juga disebutkan pernah datang ke rumah korban untuk meminta maaf kembali.
Dalam pertemuan tersebut, pihak korban sudah memaafkan, tinggal menunggu kesepakatan damai.
Namun, beberapa hari setelah itu, pihak korban mendengar bahwa permintaan maaf tersebut tidak ikhlas.
“Sehingga orang tua korban tersinggung dan bertekad melanjutkan perkara tersebut ke jalur hukum,” ujar AKBP Febry.
16 Tahun Guru Honorer Bergaji Rp300 Ribu, Diminta Uang Damai Rp50 Juta
Supriyani sudah 16 tahun menjadi guru honorer. Berdasarkan kesaksian rekan kerjanya, gaji Supriyani hanya Rp300 ribu per bulan.
Supriyani tinggal di sebuah rumah sederhana di Kabupaten Konawe Selatan.
Tetangga Supriyani, Suyatni (57), mengatakan wanita berusia 38 tahun itu mencari tambahan biaya dengan berkebun.
Selama ini, Supriyani jarang bersosialisai karena sibuk bekerja.
“Dia hanya mengajar, setelah itu pulang langsung ke kebun,” tuturnya.
Suyatni mengaku tak pernah melihat Supriyani melakukan kekerasan ke anak.
“Tidak pernah, (memukul) itu anak-anaknya kalau main hujan dia hanya tegur,” sambungnya.
Kondisi ekonomi Supriyani pas-pasan karena suaminya hanya bekerja serabutan.
“Suaminya kadang di kebun, kadang kerja bengkel, kadang juga ikut kerja bangunan,” tuturnya.
Kini, rumah Supriyani kosong karena dievakuasi ke kantor pemerintah kecamatan.
Hal itu dilakukan untuk memberi perlindungan Supriyani dan keluarga dari intervensi.
Dengan gaji Rp300 ribu, Supriyani tak dapat membayar uang damai Rp50 juta agar kasus kekerasan diselesaikan secara mediasi.
Vonis bebas
Majelis hakim menyatakan Supriyani tak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kekerasan fisik terhadap anak atau penganiayaan murid SD kelas 1 berinisial D yang juga anak polisi, Aipda Wibowo Hasyim, dan Nurfitriana.
“Menyatakan terdakwa Supriyani Spd binti Sudiharjo tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana,” kata Ketua Majelis Hakim PN Andoolo, Stevie Rosano.
“Sebagaimana didakwakan dalam dakwaan alternatif 1 dan dakwaan alternatif kedua penuntut umum,” jelasnya menambahkan.
Kedua, membebaskan terdakwa guru Supriyani oleh karena itu dari semua dakwaan penuntut umum.
Tiga, memulihkan hak-hak terdakwa dalam pengakuan, kedudukan, harkat, serta martabatnya.
Empat, menetapkan barang bukti berupa satu pasang baju seragam SD lengan pendek, motif batik, dan celana panjang warna merah dikembalikan kepada saksi Nurfitriani.
Satu buah sapu ijuk warna hijau dikembalikan kepada saksi Lilis Darlina.
Terakhir, membebankan biaya perkara kepada negara.
“Demikian diputuskan dalam musyawarah majelis hakim Pengadilan Negeri Andoolo pada hari Senin, tanggal 18 November 2024,” ujarnya.
Eks Kapolsek Baito dan Kanit Reskrim Dihukum Demosi dan Patsus
Eks Kapolsek Baito, Ipda M Idris alias Ipda MI dan mantan Kanit Reskrim Aipda Amiruddin alias Aipda AM terbukti memeras guru Supriyani dalam penanganan kasus dugaan penganiayaan anak polisi di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.
Keduanya terbukti meminta uang kepada guru Supriyani.
Atas tindakannya tersebut Ipda MI dan Aipda AM dijatuhi sanksi demosi dan penempatan khusus (patsus).
Hukuman tersebut dijatuhkan dalam sidang etik yang digelar Bidang Propam Polda Sulawesi Tenggara (Sultra), Kamis (5/12/2024).
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sultra, Kombes Pol Iis Kristianto mengatakan sidang etik keduanya dilaksanakan selama dua hari sejak Rabu (4/12/2024) hingga hari ini.
Menurut Iis, sidang kode etik Ipda MI dipimpin langsung Kabid Propam Polda Sultra, Kombes Pol Moch Sholeh.
Sementara eks Kanit Reskrim Polsek Baito, Aipda AM dipimpin Wakapolres Konawe Selatan (Konsel).
“Alhamdulillah (sidang etik) sore ini sudah selesai,” kata Iis saat diwawancarai TribunnewsSultra.com, Kamis (5/12/2024).
Menurut, Kombes Iis Kristianto berdasarkan fakta-fakta persidangan keduanya terbukti melakukan permintaan uang kepada guru Supriyani.
“Berdasarkan fakta-fakta persidangan, Ketua Komisi Kode Etik menyebut Ipda MI dan Aipda AM terbukti melakukan permintaan bantuan uang,” kata Iis.
Lanjut Kombes Pol Iis, Ipda MI dijatuhi hukuman patsus selama tujuh hari dan demosi satu tahun.
“Juga sanksi etik untuk memberikan permintaan maaf kepada institusi terhadap perbuatan yang dia lakukan,” katanya.
Sementara Aipda AM berdasarkan hasil sidang kode etik, yang dipimpin Wakapolres Konsel, terbukti bersalah melakukan permintaan bantuan sejumlah Rp2 juta, kepada pihak yang sedang berperkara.
“Kemudian Ketua Komisi Kode Etik menjatuhkan kepada Aipda AM patsus selama 21 hari dan demosi selama dua tahun,” katanya. (Tribunnews/Tribun Sultra)