Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Standardisasi kemasan rokok dinilai picu peredaran rokok ilegal

Standardisasi kemasan rokok dinilai picu peredaran rokok ilegal

Ilustrasi rokok dengan kemasan polos tanpa merek. (Foto:Dok/Istockphoto)

Standardisasi kemasan rokok dinilai picu peredaran rokok ilegal
Dalam Negeri   
Editor: Sigit Kurniawan   
Senin, 23 Desember 2024 – 18:43 WIB

Elshinta.com – Rencana standardisasi kemasan rokok yang sedang dirumuskan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menuai kekhawatiran dari Kementerian Perindustrian. Direktur Industri Minuman, Tembakau, dan Bahan Penyegar Kemenperin, Merrijantij Punguan Pintaria, mengungkapkan kebijakan ini berpotensi memperbesar celah bagi rokok ilegal untuk beredar luas di pasaran. 

Ia menilai kemasan seragam tanpa identitas mempersulit konsumen dalam membedakan produk legal dan ilegal, yang pada akhirnya dapat merugikan industri hasil tembakau (IHT) nasional.

“Penyeragaman kemasan akan membuka peluang bagi rokok ilegal karena bentuknya yang sulit dibedakan. Ini bisa berdampak pada pendapatan perusahaan, serapan tenaga kerja, hingga penggunaan bahan baku dalam negeri,” ujar Merrijantij dalam keterangan yang diterima Reporter Elshitna, Supriyarto Rudatin, Senin (23/12). 

Menurutnya, jika peredaran rokok ilegal meningkat, negara berpotensi kehilangan pendapatan dari cukai tembakau, yang selama ini menjadi salah satu sumber pemasukan terbesar.

Ia menambahkan, produksi IHT telah mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2022, produksi rokok mencapai 323 miliar batang, sementara pada 2023 turun menjadi 318 miliar batang, atau mengalami penurunan sebesar 1,5 persen.

 “Utilisasi IHT menurun 16,08 persen sampai Juli 2024, dan hal ini turut berdampak pada pencapaian cukai hasil tembakau (CHT) yang tidak memenuhi target,” jelasnya. Pada 2023, pendapatan cukai tembakau tercatat Rp213 triliun, di bawah target APBN sebesar Rp227,21 triliun.

Di sisi lain, Kemenkes menegaskan, kebijakan standardisasi kemasan rokok bertujuan untuk melindungi generasi muda dari bahaya produk tembakau. 

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan bahwa pihaknya masih mengkaji aturan ini dan mempertimbangkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan. 

“Kami ingin melindungi anak-anak dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai bagian dari bonus demografi,” ungkapnya. 

Meskipun demikian, Kemenperin menilai kebijakan ini perlu dikaji lebih dalam agar tidak merugikan sektor industri yang melibatkan banyak tenaga kerja dan menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat.

Merrijantij berharap pemerintah dapat menyeimbangkan kepentingan kesehatan dengan keberlangsungan industri tembakau nasional.

Sumber : Radio Elshinta