Jakarta, CNBC Indonesia – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menjelaskan soal transaksi uang elektronik dan dompet digital yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% mulai 1 Januari 2025.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengungkapkan PPN sudah dikenakan sejak lama terhadap uang elektronik atau e-money dan dompet digital atau e-wallet. Hal ini sesuai dengan aturan PMK 69 Tahun 2022 tentang PPh dan PPN atas penyelenggara teknologi finansial.
“Jadi selama ini jasa atas transaksi uang elektronik dan dompet digital sudah kena PPN yaitu di PMK No. 69/2022,” ungkap Dwi dalam konferensi pers, dikutip Selasa (24/12/2024).
“Saya paham diskusi di masyarakat QRIS setiap transaksi kena dong, e-money setiap transaksi kena dong. Ini saya klarifikasi ya kenanya sudah lama bukan baru berdasarkan PMK No. 69 Tahun 2022,” ungkapnya.
Namun, dia menjelaskan PPN 12% dikenakan terhadap biaya admin dalam transaksi elektronik dan dompet digital. Dalam hal ini bukan pada nilai uang yang diisi (top up), nilai saldo atau nilai transaksi jual beli.
Dwi pun memberikan contoh, misalnya, Slamet melakukan top up e-money atau e-wallet sebesar Rp 1 juta dan biaya admin Rp 1.500. Maka PPN yang dikenakan sebesar Rp 180, yang didapat dari 12% x Rp 1.500.
“Jadi jasa yang dikenakan PPN itu, 1.500-nya atas jasanya. Jadi Rp 1.500 yang disebut biaya admin itu jasa,” papar Dwi.
Biasanya, lanjut Dwi, provide sudah memperhitungkan PPN di dalamnya. Lalu dia juga mencontohkan PPN dalam e-wallet ketika dipakai untuk belanja. Misalnya, dompet digital di-top-up sebesar Rp 500.000 dan biaya adminnya Rp 1.500. Itu sudah diperhitungkan pajaknya oleh provide dan ketika pengguna membeli makanan sebesar Rp 100.000 dan membeli pulsa Rp 50.000, maka tidak dikenakan PPN lagi.
“Pas nge-tap tol juga tidak dikenakan PPN-nya. Gak ada PPN di situ (e-wallet/e-money),” tegas Dwi.
(haa/haa)