Liputan6.com, Yogyakarta – Sengketa perbatasan antara Mesir dan Sudan menciptakan fenomena unik berupa wilayah tanpa kepemilikan negara. Bir Tawil, sebuah wilayah seluas 2.060 kilometer persegi, menjadi satu-satunya daratan di luar Antartika yang tidak berada di bawah yurisdiksi negara manapun.
Wilayah gurun yang terletak di perbatasan Mesir-Sudan ini memiliki status terra nullius akibat perbedaan klaim dalam sengketa Segitiga Hala’ib. Kedua negara lebih memilih memperebutkan Segitiga Hala’ib yang bernilai strategis, sehingga mengabaikan Bir Tawil.
Mengutip dari berbagai sumber, kondisi geografis Bir Tawil berupa dataran tandus dan perbukitan berbatu dengan ketinggian mencapai 459 meter di atas permukaan laut. Wilayah ini terbentang di sebelah selatan Mesir dan sebelah utara Sudan.
Kompleksitas status Bir Tawil berakar dari kebijakan kolonial Britania yang menetapkan dua garis perbatasan berbeda. Perbatasan tahun 1899 menempatkan Segitiga Hala’ib di bawah Sudan dan Bir Tawil di bawah Mesir.
Sementara perbatasan 1902 memberikan Segitiga Hala’ib kepada Mesir dan Bir Tawil kepada Sudan. Segitiga Hala’ib yang memiliki luas 20.580 kilometer persegi menjadi rebutan karena berbatasan dengan Laut Merah dan kaya sumber daya alam.
Mesir menggunakan perbatasan 1902 untuk mengklaim wilayah ini, sedangkan Sudan berpegang pada perbatasan 1899. Akibat fokus kedua negara pada Segitiga Hala’ib, Bir Tawil menjadi wilayah yang tidak diklaim.
Mesir yang menggunakan perbatasan 1902 secara tidak langsung melepaskan hak atas Bir Tawil. Begitu pula Sudan yang berpegang pada perbatasan 1899 tidak dapat mengklaim wilayah tersebut.
Ketiadaan infrastruktur permanen dan sumber daya alam menjadikan Bir Tawil kurang menarik untuk dikembangkan. Kondisi geografis berupa gurun dan perbukitan berbatu yang gersang, ditambah iklim ekstrem, membuat wilayah ini tidak cocok untuk permukiman.
Meski beberapa kelompok pernah mencoba mendirikan kerajaan atau negara kecil di Bir Tawil, upaya tersebut tidak mendapat pengakuan internasional. Status wilayah ini tetap sebagai terra nullius hingga saat ini.
Penulis: Ade Yofi Faidzun