TRIBUNNEWS.COM – Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada 2025.
Wacana kenaikan PPN 12 persen itu merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Namun, belakangan muncul penolakan dari berbagai kalangan masyarakat yang menilai kenaikan PPN 12 persen bakal memberatkan ekonomi masyarakat.
Kritikan juga datang dari PDI Perjuangan (PDIP) yang notabene merupakan salah satu di antara partai yang menyetujui RUU HPP bersama Partai Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PAN, dan PPP.
Sementara fraksi yang menolak adalah PKS.
Sikap PDIP itu lantas mendapat sorotan dari Partai Gerindra, PAN hingga ormas Projo (Pro Jokowi).
Gerindr: Hanya Bisa Senyum dan Geleng-Geleng Ketawa
Wakil Ketua Umum Gerindra, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo mengaku heran dengan sikap PDIP yang mengkritik kebijakan ini.
Padahal, kata Rahayu, Fraksi PDIP saat itu menjadi ketua panitia kerja (panja) pembahasan RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP).
Kala itu, kader PDIP, Dolfie Othniel Frederic Palit yang menjadi Ketua Panja.
“Itulah kenapa saya heran saat ada kader PDIP berbicara di rapat paripurna, tiba-tiba menyampaikan pendapatnya tentang PPN 12 persen.”
“Jujur saja, banyak dari kita saat itu hanya bisa senyum dan geleng-geleng ketawa,” ungkap Rahayu kepada Tribunnews, Sabtu (21/12/2024).
Politisi yang kerap dipanggil Sara itu menilai PDIP semestinya menolak saat pembahasan RUU HPP.
“Padahal mereka saat itu Ketua Panja UU yang mengamanatkan kenaikan PPN 12 persen ini. Kalau menolak ya kenapa tidak waktu mereka Ketua Panjanya?” ungkapnya.
PAN: Lempar Batu Sembunyi Tangan
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Viva Yoga Mauladi mengibaratkan sikap PDIP seperti lempar batu sembunyi tangan.
Menurutnya, kenaikan PPN 12 persen sudah termaktub dalam usulan revisi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), yang kemudian disahkan menjadi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada 7 Oktober 2021, dan telah disetujui oleh Fraksi DPR PDI-P.
Menurut Viva, perubahan sikap PDIP yang kini menolak kenaikan PPN 12 persen, memberikan kesan inkonsistensi.
“Jika sekarang sikap PDI-P menolak kenaikan PPN 12 persen dan seakan-seakan bertindak seperti hero, hal itu akan seperti lempar batu sembunyi tangan, hehe,” ucapnya.
Ia pun menganggap bahwa sikap PDIP merupakan strategi politik.
“Dulu setuju dan berada di garis terdepan, sekarang menolak, juga di garis terdepan,” tambahnya.
Lebih lanjut, menurut Viva, kebijakan yang diambil oleh Presiden RI Prabowo Subianto terkait PPN 12 persen, merupakan langkah bijaksana.
Menurutnya, kebijakan ini bertujuan untuk melindungi daya beli masyarakat serta mencegah kontraksi ekonomi yang lebih dalam.
“Kebijakan Presiden Prabowo untuk memberlakukan PPN 12 persen secara lex specialist hanya untuk barang-barang mewah adalah langkah bijaksana dalam rangka untuk melindungi daya beli masyarakat dan mencegah kontraksi ekonomi” ungkapnya
Ia menegaskan bahwa pemerintah akan terus memonitor dan mengevaluasi aspirasi masyarakat terkait kebijakan tersebut.
Projo: PDIP Jangan Cuci Tangan
Kritikan sikap PDIP juga datang dari organisasi Projo (Pro Jokowi).
“PDIP sebagai pemilik suara terbesar di DPR waktu itu ikut mendorong pemberlakuan PPN 12 persen.”
“Kok, sekarang lempar batu sembunyi tangan,“ kata Wakil Ketua Umum DPP PROJO, Freddy Damanik, Minggu (22/12/2025).
Projo menilai PDIP sebagai partai pemenang yang berkuasa ketika itu tidak bisa lepas tanggung jawab terhadap rakyat.
Ketua DPR waktu itu juga politikus PDIP Puan Maharani, yang kini kembali menjabat Ketua DPR.
Namun, para politikus PDIP justru membuat seolah Presiden Prabowo yang menyebabkan munculnya kenaikan tarif PPN 12 persen.
“Masyarakat harus tahu bahwa ada tindakan membohongi publik lewat pernyataan-pernyataan yang memojokkan Presiden Prabowo, Projo mendukung penuh kebijakan pemerintahan Prabowo,” ujar Freddy.
Menurut Freddy, pemerintah tidak lepas tangan dengan persoalan ini.
Presiden Prabowo melaksanakan perintah UU HPP untuk menerapkan tarif PPN 12 persen per 1 Januari 2025.
Meski begitu, tarif pajak tersebut hanya dikenakan bagi barang mewah.
Menurutnya, ini bukti Presiden Prabowo memahami kondisi dan mencari cara untuk tidak membebani rakyat.
(Tribunnews.com/Milani/ Hendra Gunawan/Gilang Putranto)